Click, to translate this blog!

Fellas, you're number

Minggu, 15 September 2013

Aku, Masak dan Mbah Marinah - Yosephine Gunawan XIIB/9

“Pin, kuat ngga?”

Mataku terbelalak. Setelah berpesta dengan adrenalin saat mendaki bukit kini saatnya berpesta dengan rasa takut. Bukit terjal yang lumayan tinggi itu seakan menertawakan aku dalam diam. Dua pasang mata termasuk si pemilik suara melihatku dari bawah, menunggu. Aku hanya diam dan terpaku ditempatku tanpa sadar bahwa sapu ijuk yang awalnya berada dalam genggaman tangan kiriku kini telah berpindah ke tanah.

..........................................

Mbah Marinah lagi-lagi menyuruhku memasak. Ini sudah yang ketiga kalinya aku duduk di depan tungku yang menyala, menjaga agar apinya tidak padam, membalik-balik masakan di atas panci sambil sesekali mencicipinya. Aku mulai lelah mendapati asap mengepul di depan wajahku dan api yang membakar bulu di sekitar jemari dan betisku ditambah ritme kehidupan desa yang terasa lambat. Bosan.

Memasuki hari kedua di desa, aku mulai mengingat bayanganku tentang kehidupan desa. Menantang, penuh perjuangan, berpetualang dan keras. Aku ingin merasakan euforia seperti itu.

Lamunanku buyar ketika minyak panas dari panci melompat dan mengenai kulitku.

Akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepadanya tentang ladang singkong yang pernah ia ceritakan di hari pertama kami bertemu.

“Mbah, kalo ke ladang biasanya kapan?”

“(berbicara dalam bahasa Jawa)”

“Apa, Mbah?”

“Bebas, Pin. Nanti sore kayaknya pergi.”

“Jam berapa, Mbah? Sehabis pertemuan, saya sama Airin boleh ikut?”

Ia tersenyum tanpa perlu menjawab pertanyaanku. Bagiku ini sudah cukup.

Setelah pertemuan Live In dengan teman-teman sedesaku, Mbah Marinah menepati janjinya. Aku dan Airin diajak mendaki sebuah tempat yang penuh dengan batu-batu tajam sehingga aku dapat merasakan tajamnya yang menusuk telapak kaki. Tempat itu tidak terlalu tinggi namun cukup membuat nafasku terengah-engah. Aku tidak menghiraukan rasa itu. Pikiranku terlalu sibuk memikirkan petualangan yang akan terjadi.
Di tengah jalan Mbah mengentikan langkahnya kemudian ia mulai menuruni bukit terjal itu. Airin mengikuti setelahnya. Aku terdiam.

“MBAAAH?! MBAH SERIUS TURUN DISINI?!” teriakku dalam hati.

Perlahan aku menginjak batu-batu licin yang sepertinya mudah longsor sambil mengingat-ngingat bekas pijakkan mereka. Tak lama setelah aku melangkah beberapa kali, terdengar suara ‘bruk’. Aku terjatuh dengan kaki menahan badan sehingga menimbulkan rasa nyeri di bagian telapak kaki.

“Sakit ngga, Pin?” tanyanya dengan penuh kasih sayang yang kubalas hanya dengan acungan jempol sambil menahan rasa sakit.

Setelah menyelesaikan pekerjaanku di ladang yang sebenarnya hanya membakar sampah yang sudah dikumpulkan Airin dan Mbah, Mbah merebus singkong yang baru aku dan Airin cabut dari tanah. Rasanya sangat enak walaupun hanya memakannya dengan gula pasir dan garam.

Ibu segala bisa ini tampaknya sangat puas mendapati aku dan Airin memakan singkong buatannya dengan lahap sampai-sampai ia menyuruh kami untuk menghabiskan semuanya.

Esoknya lagi-lagi Mbah menyuruhku memasak tetapi kali ini berbeda. Mbah meninggalkanku berdua saja dirumah. Sebenarnya diantara kami berdua tidak ada yang benar-benar bisa dan tahu cara memasak yang benar sehingga muncul berbagai rasa kekhawatiran dari dalam diri kami masing-masing.

Selesai memasak dan mematikan tungku, aku berinisiatif untuk menyusul Mbah ke ladang dengan menggunakan jalan lain yang menurutku lebih aman. Kami melakukan pekerjaan yang sama seperti kemarin.
Saat perjalanan pulang menuju rumah Mbah, sebuah kejutan manis telah menanti dirumah. Anak Mbah yang ketiga bersama anak perempuannya mengunjungi Mbah. Aku langsung disambut dengan sangat hangat oleh mereka seakan kami adalah satu keluarga besar.

Namun sayang sekali mereka tidak menginap di rumah Mbah dan pulang sekitar pukul 3 sore. Sebelum mereka pulang, aku sempat diajari membuat utri dan memotong kelapa muda dari mereka.

“Bapak pekerjaannya apa, Pak?” tanyaku kepadanya.

“Saya, nganu, pembicara seminar. Seminar tentang pertanian.”

“Hebat banget, Pak.”

“Iya. Cari ilmu itu bisa dimana-mana lho, ngga cuma dari sekolah. Saya belajar dari majalah, aduh, itu loh yang tentang tumbuhan-tumbuhan itu.”

“Majalah? Majalah Trubus?”

“Nah, iya! Saya baca-baca dari situ dan ternyata ilmunya bisa kepake.”

Satu kata dariku untuknya: kagum.

Satu hal lagi yang membuatku cukup terharu adalah kami dibawakan ayam segar siap masak. Padahal menurut pastor yang menyambutku dan yang lainnya di paroki Wonosari, mereka jarang memakan makanan seperti daging, telur dan sebagainya.

Hari terakhir di dusun bolang, waktu terasa semakin cepat. Sepulangku dari pertemuan, Mbah memelukku dan Airin dengan sangat erat sambil menitikkan air mata.

“Hari ini Mbah seneng, besok senep. Pipin sama Arin udah pulang.” Satu kalimat yang membuatku semakin enggan berpisah dengannya, dengan dusun Bolang, dengan suasana dan atmosfirnya yang ada.

Ada sebuah pertemuan maka akan ada juga yang namanya perpisahan. Hukum mutlak yang menurutku adalah hal yang paling kejam di dunia ini.

..............................

Berat rasanya memikul tas ransel yang berisi baju-baju kotor bercampur bau keringat di tas. Namun lebih berat lagi rasanya berjalan meninggalkan dusun ini. Atmosfirnya, suasananya, bintangnya, awannya, langitnya, hewan-hewannya, orang-orangnya dan bahkan udaranya meninggalkan kesan tersendiri yang melekat dalam benakku.

Truk yang akan ku naikki sudah tiba untuk menjemput kami. Air mata berjatuhan tanda tak ingin berpisah. Aku ingin mengatakan selamat tinggal kepada Mbah tetapi kata itu seakan tidak bisa keluar dari leherku.



Perjalanan kami menuju paroki tidak jauh berbeda dengan saat kami pertama kali menuju dusun Bolang. Yang berbeda adalah ketika pertama kali kami menuju rumah masing-masing, truk itu membawa orang-orang dengan rasa penasaran yang besar. Namun ketika pulang, truk itu membawa orang-orang dengan pengalaman.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar