Senin, 16 September 2013
Pakai hati. Teresia Hanna Sanjaya . XII.IPB. 6
Live in.
Sesuatu yang saya tunggu - tunggu.
Kenapa?
Karna saya tak bisa ikut live in di smp saya dahulu. Sewaktu teman - temank saya yang lain pergi live in, saya sedang duduk termenung di ruang operasi. Yahh, menyebalkan. Saya kehilangan satu pengalaman indah lagi.
Tapi beruntung, ketika saya masuk SMA Santa Ursula, saya mendapati kabar bahwa kelas 12, tiap tahunnya akan pergi live in. Dan disinilah saya sekarang, kelas 12 dan sudah selesai live in.
Menyenangkan? Sangat.
Mengharukan? Cukup.
Sesuai harapan? Tidak.
Banyak hal yang belum saya perbuat untuk keluarga saya disana dan saya sesali itu.
Hari pertama, kedua, ketiga, keempat, jujur, saya tidak mendapatkan sedikit manfaatpun dari live in ini bagi jiwaku, tak ada rasa haru ataupun tangis seperti yang terjadi kepada teman - teman saya. Saya sendiri tak begitu mengerti, tapi saya pun ingin merasakan apa yang mereka alami. Rasa sedih, menyesal, lalu ingin berubah.
Kehidupan itu keras. Itu sudah saya pelajari dari kehidupan orang tuaku, yang masing - masing memulai usaha dari 0 dan jatuh bangun. Jadi, di hari pertama, kedua, ketiga, keempat bersama "keluargaku" yang berada di desa Jati itu, saya tak mendapat banyak.
Banyak hal yang bisa saya pelajari, tapi tak ada yang bisa mengena hati.
Sehingga saya hanya bisa menjalaninya sebagai kewajiban.
Tapi setidaknya, saya mendapatkan banyak pengalaman menarik di live in tersebut. Hari pertama saat saya sampai di desa Jati, pembagian kelompok keluarga pun di lakukan di gereja, beruntungnya pasangan di dalam keluarga saya bukan hanya 1, seperti teman - teman yang lain, namun 3, yakni Jesslyn, Livia, dan Maria. Dan kami pun, mendapatkan keluarga Pak Darmo, yang terdiri dari Ia dan istrinya, Mbak Las, Mbak Tin, suaminya dan anaknya yakni Alifa.
Saya benar - benar tak mengenal Jesslyn, Livia ataupun Maria. Seperti apa sifat dan sikap mereka? Bagaimana kepribadiannya? Dan sebagainya. Sehingga, pendekatan pun harus dilakukan bukan hanya ke keluarga baru saya, namun juga kepada teman - teman saya dari Sanur.
Hari kedua, ketiga, keempat, saya bersama - sama dengan ketiga teman saya melakukan berbagai hal, seperti mengupas singkong, pergi ke pasar dengan truk di jam 3 pagi, memotong / membacok singkong dari akarnya, pergi ke ladang, membantu memasak, bermain dengan sapi dan memberi makan sapi.
Banyak hal yang baru saya alami dan pelajari di sana. Dan banyak pula hal - hal yang saya sudah pelajari di sekolah dan bisa saya lihat dalam keluarga Bapak, seperti asas kekeluargaan mereka yang begitu kuat dibuktikan dari cerita Ibu saya, bilamana salah seorang dari desa tersebut sakit, 1 desa akan berbondong - bondong datang ke rumah sakit, ada pula toleransi antar agama yang bisa dilihat dari Pak Darmo dan anaknya yang berbeda - beda agama tetapi tinggal dalam 1 atap, kerja sama, dsb.
Tapi, saya tak merasa tersentuh. Saya merasa hal itu hebat dan menakjubkan, tapi tak ada haru dalam hati.
Di hari terakhirlah, hari kelima, di saat perpisahanlah, saya baru teringat akan apa yang teman saya katakan, "rasain pakai hati, bukan pakai otak.."
"Ahh.. Rasanya saya sudah merasakan pakai hati.." Tapi saya salah. Terkadang suara hati itu bukan berarti suara yang berasal dari hati dan suara dalam pikiran bukan berarti suara dari logika saya. Akhirnya, saya mencoba memandang mereka lagi, keluarga baru saya, mereka yang begitu perhatian....
Saya memandang mereka, saya langsung sadar..
Selama ini mereka memberikan segala yang terbaik untuk kita, walaupun mereka tak punya banyak, tapi dengan tulus dengan segenap hati, mereka memberikan segala untuk kita.
Air mata saya ikut menetes ketika, bapak dari keluarga saya ikut menangis melihat kepergian kita.
Terlintas di pikiran saya,
"Apa yang telah saya perbuat untuk mereka?"
Sekarang semua hanya rindu, tak bisa melakukan banyak lagi, karna mereka berada benar - benar jauh.
Yang saya dan teman - teman saya tinggalkan hanyalah sebuah surat di balik bantal tanda terimakasih dan berbagai kenangan yang tak seberapa, seperti jepitan rambut, obat - obatan, gelang, kotak pensil. Kami hanya bisa mengerahkan sedikit karna tidak membawa apa - apa..
Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi, sehingga saya bisa membalas ketulusan mereka, dengan ketulusan saya juga.. Karna ketulusan mereka tak sebanding dengan apa yang saya beri dan kerjakan..
Suatu saat nanti, ketika bertemu dengan mereka, dalam diam saya akan membisikkan diri saya,
"pakai hati, han..."
Hingga semua yang saya perbuat akan benar - benar tulus dari lubuk hati saya yang paling dalam.
Karna sebuah ketulusan disertai cinta kasih, benar - benar tak ternilai harganya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar