One
Moment in Time
Hari itu akhirnya tiba
juga, Sabtu, 31 Agustus 2013, hari dimana diselenggarakannya kegiatan live in SMA Santa Ursula BSD 2013.
Tujuan live in kali ini adalah desa – desa di sekitar kabupaten Wonosari,
Gunungkidul, D.I.Y yaitu desa Jati, desa Bolang, desa Cwelo, desa Petir, dan
desa Pokdadap. Saya masuk dalam kelompok desa Pokdadap bersama teman sekamar
saya Jericho. Setelah mengikuti perayaan ekaristi di sekolah, akhinya pada
pukul 14.00 kami segera meninggalkan sekolah dengan menggunakan bus. Ada 4 bus
yang kami gunakan, dan saya ada di bus 4, bus yang berisi semua murid laki-laki
sehingga suasana bus sangat ramai karena ada yang menyanyi-nyanyi, ngobrol, dan
lain-lain.
Sepanjang perjalanan teman-teman di bus 4
termasuk saya semua bernyanyi untuk menghilangkan rasa bosan. Ditambah lagi pak
kondektur menyetel lagu-lagu karaoke di bus sehingga kami tak henti-hentinya
bernyanyi hingga malam tiba. Sekitar pukul 21.00 tidak ada lagi yang menyanyi
lagi mungkin juga karena sudah lelah dan banyak yang sudah tertidur. Setiap 2-3
jam sekali bus berhenti pada sebuah restoran atau tempat pemberhentian lain
untuk para siswa yang ingin membeli snack atau pergi ke toilet. Perjalanan
berlanjut hingga akhirnya esok hari pun tiba juga.
Sekitar pukul 06.30,
saya terbangun dan melihat sepanjang jalan melalui kaca bus. Ternyata kami
sudah memasuki Wonosari. Pak Teddy pun membangunkan kami semua katanya sekitar
jam tujuh lewat kami akan tiba di Paroki Wonosari, tujuan utama kami. Waktu pun
berlalu, dan akhirnya sekitar 07.10 kami tiba di Paroki Wonosari. Disana kami
dipersilahkan untuk yang mau gosok gigi, cuci muka dan lain-lain. Disitu juga
kami sudah disediakan sarapan khas Wonosari. Kami semua baik siswa pria maupun
wanita menikmati hidangan yang sudah disediakan itu.
Selesai sarapan,
sekitar pukul 08.00 kami mendapat kata sambutan dari seorang Romo di gereja itu
yaitu Romo Anton. Setelah kata sambutan, romo memberi berkat Tuhan kepada kami
agar kami tetap selamat dan kembali dalam keadaan sehat tanpa kekurangan
apapun. Setelah itu, hp, snack – snack yang kami bawa mulai dikumpulkan kepada
guru pendamping dan truk-truk yang akan membawa kami menuju desa kami pun tiba
di paroki. Semua murid per desa mulai memasuki truk-truk yang disediakan sesuai
dengan tujuan desa masing-masing.
Truk yang membawa kami
para siswa lelaki yang menuju desa Pokdadap pun mulai meninggalkan paroki
Wonosari dan mulai mengantar kami ke desa kami masing-masing. Ada yang turun di
desa Pokdadapnya, ada pula yang turun di dusun-dusun di Pokdadap, seperti saya
dan Jericho, dan juga Rangga dengan Anthony. Saya dan Jericho di dusun Ngenep,
sementara Rangga dan Anthony di dusun Mojo. Dan yang membuat saya dan Jericho
cukup terkejut ternyata rumah live in saya adalah rumah dari supir truk yang mengantar
semua teman saya tadi. Beliau bernama Danar, dan kami memanggilnya dengan
panggilan “mas”. Beliau memliki seorang istri dan seorang anak. Istrinya
bernama Bu Yanti dan anaknya bernama Axel.
Saya dan Jericho
diterima dengan sangat baik di keluarga itu, Mas Danar dan Istrinya sifatnya
ramah dan mau menerima kami. Jam makan siang pun tiba, Ibu Yanti mempersilahkan
kami untuk makan siang. Menu makanan yang disajikan saat itu adalah sayur khas
Wonosari yaitu “sayur lombok”. Sayur itu begitu enak, saya dan Jericho pun
menyukai sayur itu sampai-sampai sayur semangkuk itu pun habis oleh kami
(rakusnya kami ckck). “maaf ya, kalo di desa makannya itu seadanya” ujar bu
Yanti sambil tersenyum. Padahal kami tidak merasa makanan yang disajikan itu
seadanya. Menurut kami, makanan yang disajikan ini lebih dari cukup.
Usai makan siang, kami
berdua menuju ke kamar kami. “Hari ini belom ada kerjaan, istirahat dulu aja,
besok aja kerjanya” ujar mas Danar tiba-tiba. Mendengar itu kami pun cukup
kecewa dan bingung apa yang harus dikerjakan sehingga siang itu kami habiskan
dengan beristirahat di kamar. Sore hari sekitar pukul 15.30, karena kami merasa
jenuh di rumah karena belum ada pekerjaan yang bisa kami kerjakan, kami pun
meminta izin mas Danar untuk pergi berjalan ke rumah live in Rangga dan
Anthony. Kami berdua pun diizinkan, bahkan tadinya kami mau berjalan kaki malah
dipinjami motor oleh mas Danar, “nganggo motor wae gen ra kesel” ujarnya dalam
bahasa jawa. Saya yang cukup fasih berbahasa jawa pun mengerti perkataan itu
dan menterjemahkannya kepada Jericho. Akhirnya kami pun naik motor berboncengan
menuju rumah Anthony dan Rangga yang jaraknya ½ kilometer dari rumah Mas Danar.
Di perjalanan menuju ke
sana, ternyata kami berpas-pasan dengan Rangga dan Anthony yang ternyata juga
hendak menuju rumah Mas Danar. Saya dan Jericho pun bercerita kepada Rangga dan
Anthony bahwa belum ada yang bisa kami kerjakan karena mas Danar belum memberi
pekerjaan kepada kami sehingga kami sangat jenuh. Sementara itu Rangga dan
Anthony ternyata sudah bekerja membantu ibu asuhnya mengupas kulit singkong
yang nantinya akan dikeringkan yang dinamakan gaplek dan bisa diolah menjadi
tiwul. Rangga juga menawarkan kepada saya dan Jericho apakah kami mau ikut
mereka besok karena esok hari mereka akan menemani ayah dan ibu asuhnya pergi
ke ladang untuk panen singkong. Saya dan Jericho pun tertarik untuk ikut serta
mereka, karena beranggapan, kami pun belum ada pekerjaan dan juga penasaran
bagaimana cara memanen singkong.
Hari menjelang malam,
saya dan Jericho pun pulang kembali ke rumah mas Danar. Seusai mandi dan makan
malam. Kami pun menemui mas Danar dan meminta izin untuk diperbolehkan membantu
ibu dan ayah asuh Rangga dan Anthony pergi ke ladang esok hari. “Boleh aja,
gapapa kok wong belum ada kerjaan yang bisa kalian lakukan juga, ikut aja biar
dapet pengalaman di ladang. Jangan canggung disini, biasa aja anggap rumah
sendiri” tuturnya sambil tersenyum. Sekitar pukul 20.00 kami ke kamar, menulis
refleksi adalah kegiatan rutin kami setiap malam. Setelah menulis refleksi dan
gosok gigi, kami pun tidur.
Esok harinya setelah
mandi pagi dan sarapan, sekitar pukul 08.00 kami pamit untuk menuju ke rumah
Anthony dan Rangga. Setelah pamit, kami segera berjalan kaki menuju rumah
Rangga dan Anthony. Terlebih dahulu kami berkenalan dengan ayah dan ibu asuh
mereka. Ternyata umur ayah dan ibu asuh mereka sudah cukup tua. Ayah asuh
mereka bernama Cipto Karji sementara ibu asuhnya bernama Sutampi. Namun karena
lebih familiar dengan sebutan “mbah cip” kami memanggil keduanya dengan sebutan
“mbah Cip”. Usai berkenalan keduanya segera membawa perlengkapan panen seperti
celurit, pacul, dan pungungkil singkong, dan segera mengajak kami pergi menuju
ladang singkong mereka.
Perjalanan dari rumah
mbah Cip ke ladangnya kira-kira ½ kilometer. Tiba di ladang, mbah putri
mengajari cara memanen singkong. Terlebih dahulu patahkan ranting singkong
untuk diambil daunnya yang bisa dimanfaatkan untuk dijadikan sayur, kemudian
potong separuh batang singkong dengan celurit untuk mempermudah pencabutan, dan
yang terakhir dengan menggunakan pengungkil singkong yang berbentuk bambu dan
tali yang terikat di bambu itu, lilitkan tali ke batang singkong dalam posisi
mengikat, kemudian secara perlahan-lahan angkat bambu pelan-pelan agar singkong
tidak patah di dalam, dan singkongpun akan tercabut.
Setelah dicabut,
singkong dipotong – potong dari akarnya sehingga terlepas satu persatu dan
dimasukkan ke dalam karung yang sudah dibawa untuk dibawa pulang. Setelah
dirasa cukup untuk hari ini, mbah kakung Cip menyudahi panen singkong hari ini
dan segera mengajak kami pulang. Kami berempat menggendong hasil panen kami
setiap orang satu karung dan menuju rumah mbah Cip. Sesampainya di rumah mbah
Cip, kami berempat dipersilahkan makan siang oleh mbah putri. Setelah makan
siang kami pun tidur-tiduran sambil mengobrol selama satu jam. Setelah itu,
kami melanjutkan pekerjaan kami kembali yaitu mengupas kulit singkong hasil
panen kami dengan menggunakan sebuah pisau dengan lubang di tengahnya yang
disebut lading.
Usai mengupas singkong,
saya dan Jericho pun pamit pada mbah kakung dan mbah putrid untuk kembali lagi
ke rumah kami. Tadinya mbah putri menyuruh kami untuk tidur di rumahnya saja,
namun kami tidak enak dengan mas Danar ayah asuh kami. Kedekatan kami dengan
keluarga mbah Cip lebih dekat daripada kedekatan kami dengan keluarga Mas
Danar. Namun biar bagaimana pun mas Danar punya tanggung jawab sepenuhnya
terhadap kami sehingga kami tidak ingin membuat beliau khawatir apabila kami
tak pulang, sehingga kami tetap memutuskan untuk pulang.
Sorenya jam 16.00,
Rangga dan Anthony menghampiri rumah mas Danar. Mereka lalu berkenalan dengan
mas Danar, istrinya dan anaknya. Mas Danar kemudian mengajak kami berempat esok
hari untuk pergi ke ladang miliknya. Ternyata selain berprofesi sebagai supir
truk, mas Danar juga memiliki ladang singkong. Di rumah mas Danar, saya dan
Jericho baru mendapatkan sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan besok. Kami
berempat pun menyetujui hal tersebut. Rangga dan Anthony pun pulang karena waktu
sudah menunjukkan pukul 17.30.
Esok harinya sekitar
jam 07.00, setelah mendapatkan izin dari ayah dan ibu asuhynya, Rangga dan
Anthony sampai di rumah mas Danar. Usai mandi, saya, Jericho, Rangga, dan
Anthony segera menyantap sarapan yang telah disediakan oleh Bu Yanti. Usai
sarapan, kami berempat serta Mas Danar, istri serta anak segera pergi menuju
ladangnya. Kami kesana dengan mengendarai sepeda motor karena letak ladang mas
Danar yang cukup jauh yaitu sekitar 4-5 km. Sesampainya di sana kami langsung
membantu mas Danar memanen singkong. Karena kami bisa dikatakan “sudah
mendapatkan ilmu” cara memanen singkong dari mbah Cip, kami sudah tak perlu
diajari lagi dan bekerja dengan cepat.
Usai panen, kami
dihidangkan teh hangat dan air kelapa oleh mas Danar. Kami juga membantuk
mengupasi kulit singkong di ladang. Sampai di rumah, saya dan Jericho
berisitrahat siang di kamar, sementara itu Rangga dan Anthony kembali ke
rumahnya. Sore Harinya ada perayaan ekaristi di kapel pok dadap. Dimulai pukul
16.00. Usai mandi, dan sarapan, saya, Jericho dan keluarga mas Danar
bersiap-siap menuju kapel. Rangga dan Anthony pun datang ke rumah kami dan kami
berempat serta keluarga mas Danar pergi ke kapel menaiki bus yang sering
digunakan kakak mas Danar yang berprofesi sebagai supir bus.
Perayaan ekaristi di
Kapel pun berlangsung. Misa dilaksanakan dengan menggunakan bahasa jawa kromo
yang begitu sukar untuk kami mengerti, namun kami tetap bisa mengikuti sedikit
demi sedikit karena tidak berbeda jauh dengan misa pada umumnya. Seusai misa,
ada refleksi per kelompok yang dipimpin oleh guru pengawas. Kami semua
menceritakan pengalaman sehari-hari yang kami lakukan di desa pok dadap. Saya
dan Jericho mempersilahkan mas Danar pulang duluan karena takut merepotkan
harus menunggu kami. Sehingga kami untuk pulang nanti harus berjalan kaki.
Seusai refleksi, kami
semua pulang ke rumah masing-masing. Saya, Jericho, Evan, Kumara, dan Christo
menempati rumah live in yang jaraknya cukup jauh dengan kapel sehingga kami
berjalan kaki cukup jauh di malam hari yang sangat gelap itu. Penerangan kami
hanya pada senter. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kami semua selamat
sampai di rumah masing-masing. Hari esok saya dan Jericho pergi ke rumah
Anthony dan Rangga untuk membantu panen singkong mbah Cip lagi dan mengupas
kulit singkong. Setelah itu beristirahat siang dan malamnya Chrito, Evan,
Anthony, dan Rangga mendatangi rumah saya untuk sekedar kumpul bareng, dan main
kartu. Ngeteh serta menyantap snack-snack yang sudah disiapkan mas Danar. Pukul
20.00 mereka semua pulang dan saya dan Jericho pun beristirahat malam kembali.
Esoknya, Kamis, 5
September 2013. Itu adalah hari dimana kami harus meninggalkan desa dan orang
tua asuh kami masing-masing. Hari itu adalah hari akhir dari live in kali ini.
Usai mandi dan sarapan saya pun meminta izin kepada mas Danar untuk pergi ke
rumah mbah Cip untuk berpamitan pada mereka untuk segera pulang ke BSD. Sampai
di rumah mbah Cip kami berempat bersama Rangga dan Anthony yang sudah
bersiap-saip juga segera pamit kepada mbah kakung dan mbah putri. Kami berempat
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada mereka karena sudah mau
menerima kami berempat dan menganggap kami berempat seperti anaknya sendiri.
Mbah putri pun menangisi kepergian kami. Setelah berpamitan kami berempat
segera kembali lagi ke rumah mas Danar.
Di rumah mas Danar,
saya dan Jericho dan juga Rangga serta Anthony berpamitan dengan mas Danar.
Kami mengucapkan terimakasih juga kepada mereka atas perhatian yang diberikan
mereka selama ini dan kami harus meninggalkan mereka. Usai berpamitan kami
berempat diangkut dengan truk dengan mas Danar sebagai supirnya. Hal ini
mengingatkan saya pada saat awal datang kesini saya tidak menyangka bahwa bapak
asuh saya adalah mas Danar. Lalu mas Danar menjemput setiap siswa laki-laki
tiap desa dan segera mengantar kami semua berkumpul kembali ke Paroki Wonosari
untuk mendapatkan makan siang dan berdoa mohon keselamatan dalam perjalanan
kembali ke BSD.
Setelah semua telah
dilakukan, pada pukul 12.30. Kami semua segera memasuki bus masing-masing dan
bus pun mulai berangkat menuju BSD. Sama seperti waktu berangkat, bus 4 masih
ramai. Bernyanyi-nyanyi, bercanda ria, saling berbagi pengalaman dan lain-lain.
Meski bus banyak melakukan pemberhentian, namun tak terasa esok paginya sekitar
jam 06.00 kami sudah tiba di BSD. Puji Tuhan kami kembali dengan selamat di
sekolah kami. Dari kegiatan live in kali ini, saya belajar tentang daya juang,
penghargaan serta perlunya sebuah keluarga dalam setiap aktivitas yang kita
lakukan.
Yohanes
Andy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar