Click, to translate this blog!

Fellas, you're number

Senin, 16 September 2013

One Moment in Time

Hari itu akhirnya tiba juga, Sabtu, 31 Agustus 2013, hari dimana diselenggarakannya kegiatan live in SMA Santa Ursula BSD 2013. Tujuan live in kali ini adalah desa – desa di sekitar kabupaten Wonosari, Gunungkidul, D.I.Y yaitu desa Jati, desa Bolang, desa Cwelo, desa Petir, dan desa Pokdadap. Saya masuk dalam kelompok desa Pokdadap bersama teman sekamar saya Jericho. Setelah mengikuti perayaan ekaristi di sekolah, akhinya pada pukul 14.00 kami segera meninggalkan sekolah dengan menggunakan bus. Ada 4 bus yang kami gunakan, dan saya ada di bus 4, bus yang berisi semua murid laki-laki sehingga suasana bus sangat ramai karena ada yang menyanyi-nyanyi, ngobrol, dan lain-lain.
 Sepanjang perjalanan teman-teman di bus 4 termasuk saya semua bernyanyi untuk menghilangkan rasa bosan. Ditambah lagi pak kondektur menyetel lagu-lagu karaoke di bus sehingga kami tak henti-hentinya bernyanyi hingga malam tiba. Sekitar pukul 21.00 tidak ada lagi yang menyanyi lagi mungkin juga karena sudah lelah dan banyak yang sudah tertidur. Setiap 2-3 jam sekali bus berhenti pada sebuah restoran atau tempat pemberhentian lain untuk para siswa yang ingin membeli snack atau pergi ke toilet. Perjalanan berlanjut hingga akhirnya esok hari pun tiba juga.
Sekitar pukul 06.30, saya terbangun dan melihat sepanjang jalan melalui kaca bus. Ternyata kami sudah memasuki Wonosari. Pak Teddy pun membangunkan kami semua katanya sekitar jam tujuh lewat kami akan tiba di Paroki Wonosari, tujuan utama kami. Waktu pun berlalu, dan akhirnya sekitar 07.10 kami tiba di Paroki Wonosari. Disana kami dipersilahkan untuk yang mau gosok gigi, cuci muka dan lain-lain. Disitu juga kami sudah disediakan sarapan khas Wonosari. Kami semua baik siswa pria maupun wanita menikmati hidangan yang sudah disediakan itu.
Selesai sarapan, sekitar pukul 08.00 kami mendapat kata sambutan dari seorang Romo di gereja itu yaitu Romo Anton. Setelah kata sambutan, romo memberi berkat Tuhan kepada kami agar kami tetap selamat dan kembali dalam keadaan sehat tanpa kekurangan apapun. Setelah itu, hp, snack – snack yang kami bawa mulai dikumpulkan kepada guru pendamping dan truk-truk yang akan membawa kami menuju desa kami pun tiba di paroki. Semua murid per desa mulai memasuki truk-truk yang disediakan sesuai dengan tujuan desa masing-masing.
Truk yang membawa kami para siswa lelaki yang menuju desa Pokdadap pun mulai meninggalkan paroki Wonosari dan mulai mengantar kami ke desa kami masing-masing. Ada yang turun di desa Pokdadapnya, ada pula yang turun di dusun-dusun di Pokdadap, seperti saya dan Jericho, dan juga Rangga dengan Anthony. Saya dan Jericho di dusun Ngenep, sementara Rangga dan Anthony di dusun Mojo. Dan yang membuat saya dan Jericho cukup terkejut ternyata rumah live in saya adalah rumah dari supir truk yang mengantar semua teman saya tadi. Beliau bernama Danar, dan kami memanggilnya dengan panggilan “mas”. Beliau memliki seorang istri dan seorang anak. Istrinya bernama Bu Yanti dan anaknya bernama Axel.
Saya dan Jericho diterima dengan sangat baik di keluarga itu, Mas Danar dan Istrinya sifatnya ramah dan mau menerima kami. Jam makan siang pun tiba, Ibu Yanti mempersilahkan kami untuk makan siang. Menu makanan yang disajikan saat itu adalah sayur khas Wonosari yaitu “sayur lombok”. Sayur itu begitu enak, saya dan Jericho pun menyukai sayur itu sampai-sampai sayur semangkuk itu pun habis oleh kami (rakusnya kami ckck). “maaf ya, kalo di desa makannya itu seadanya” ujar bu Yanti sambil tersenyum. Padahal kami tidak merasa makanan yang disajikan itu seadanya. Menurut kami, makanan yang disajikan ini lebih dari cukup.
Usai makan siang, kami berdua menuju ke kamar kami. “Hari ini belom ada kerjaan, istirahat dulu aja, besok aja kerjanya” ujar mas Danar tiba-tiba. Mendengar itu kami pun cukup kecewa dan bingung apa yang harus dikerjakan sehingga siang itu kami habiskan dengan beristirahat di kamar. Sore hari sekitar pukul 15.30, karena kami merasa jenuh di rumah karena belum ada pekerjaan yang bisa kami kerjakan, kami pun meminta izin mas Danar untuk pergi berjalan ke rumah live in Rangga dan Anthony. Kami berdua pun diizinkan, bahkan tadinya kami mau berjalan kaki malah dipinjami motor oleh mas Danar, “nganggo motor wae gen ra kesel” ujarnya dalam bahasa jawa. Saya yang cukup fasih berbahasa jawa pun mengerti perkataan itu dan menterjemahkannya kepada Jericho. Akhirnya kami pun naik motor berboncengan menuju rumah Anthony dan Rangga yang jaraknya ½ kilometer dari rumah Mas Danar.
Di perjalanan menuju ke sana, ternyata kami berpas-pasan dengan Rangga dan Anthony yang ternyata juga hendak menuju rumah Mas Danar. Saya dan Jericho pun bercerita kepada Rangga dan Anthony bahwa belum ada yang bisa kami kerjakan karena mas Danar belum memberi pekerjaan kepada kami sehingga kami sangat jenuh. Sementara itu Rangga dan Anthony ternyata sudah bekerja membantu ibu asuhnya mengupas kulit singkong yang nantinya akan dikeringkan yang dinamakan gaplek dan bisa diolah menjadi tiwul. Rangga juga menawarkan kepada saya dan Jericho apakah kami mau ikut mereka besok karena esok hari mereka akan menemani ayah dan ibu asuhnya pergi ke ladang untuk panen singkong. Saya dan Jericho pun tertarik untuk ikut serta mereka, karena beranggapan, kami pun belum ada pekerjaan dan juga penasaran bagaimana cara memanen singkong.
Hari menjelang malam, saya dan Jericho pun pulang kembali ke rumah mas Danar. Seusai mandi dan makan malam. Kami pun menemui mas Danar dan meminta izin untuk diperbolehkan membantu ibu dan ayah asuh Rangga dan Anthony pergi ke ladang esok hari. “Boleh aja, gapapa kok wong belum ada kerjaan yang bisa kalian lakukan juga, ikut aja biar dapet pengalaman di ladang. Jangan canggung disini, biasa aja anggap rumah sendiri” tuturnya sambil tersenyum. Sekitar pukul 20.00 kami ke kamar, menulis refleksi adalah kegiatan rutin kami setiap malam. Setelah menulis refleksi dan gosok gigi, kami pun tidur.
Esok harinya setelah mandi pagi dan sarapan, sekitar pukul 08.00 kami pamit untuk menuju ke rumah Anthony dan Rangga. Setelah pamit, kami segera berjalan kaki menuju rumah Rangga dan Anthony. Terlebih dahulu kami berkenalan dengan ayah dan ibu asuh mereka. Ternyata umur ayah dan ibu asuh mereka sudah cukup tua. Ayah asuh mereka bernama Cipto Karji sementara ibu asuhnya bernama Sutampi. Namun karena lebih familiar dengan sebutan “mbah cip” kami memanggil keduanya dengan sebutan “mbah Cip”. Usai berkenalan keduanya segera membawa perlengkapan panen seperti celurit, pacul, dan pungungkil singkong, dan segera mengajak kami pergi menuju ladang singkong mereka.
Perjalanan dari rumah mbah Cip ke ladangnya kira-kira ½ kilometer. Tiba di ladang, mbah putri mengajari cara memanen singkong. Terlebih dahulu patahkan ranting singkong untuk diambil daunnya yang bisa dimanfaatkan untuk dijadikan sayur, kemudian potong separuh batang singkong dengan celurit untuk mempermudah pencabutan, dan yang terakhir dengan menggunakan pengungkil singkong yang berbentuk bambu dan tali yang terikat di bambu itu, lilitkan tali ke batang singkong dalam posisi mengikat, kemudian secara perlahan-lahan angkat bambu pelan-pelan agar singkong tidak patah di dalam, dan singkongpun akan tercabut.
Setelah dicabut, singkong dipotong – potong dari akarnya sehingga terlepas satu persatu dan dimasukkan ke dalam karung yang sudah dibawa untuk dibawa pulang. Setelah dirasa cukup untuk hari ini, mbah kakung Cip menyudahi panen singkong hari ini dan segera mengajak kami pulang. Kami berempat menggendong hasil panen kami setiap orang satu karung dan menuju rumah mbah Cip. Sesampainya di rumah mbah Cip, kami berempat dipersilahkan makan siang oleh mbah putri. Setelah makan siang kami pun tidur-tiduran sambil mengobrol selama satu jam. Setelah itu, kami melanjutkan pekerjaan kami kembali yaitu mengupas kulit singkong hasil panen kami dengan menggunakan sebuah pisau dengan lubang di tengahnya yang disebut lading.
Usai mengupas singkong, saya dan Jericho pun pamit pada mbah kakung dan mbah putrid untuk kembali lagi ke rumah kami. Tadinya mbah putri menyuruh kami untuk tidur di rumahnya saja, namun kami tidak enak dengan mas Danar ayah asuh kami. Kedekatan kami dengan keluarga mbah Cip lebih dekat daripada kedekatan kami dengan keluarga Mas Danar. Namun biar bagaimana pun mas Danar punya tanggung jawab sepenuhnya terhadap kami sehingga kami tidak ingin membuat beliau khawatir apabila kami tak pulang, sehingga kami tetap memutuskan untuk pulang.
Sorenya jam 16.00, Rangga dan Anthony menghampiri rumah mas Danar. Mereka lalu berkenalan dengan mas Danar, istrinya dan anaknya. Mas Danar kemudian mengajak kami berempat esok hari untuk pergi ke ladang miliknya. Ternyata selain berprofesi sebagai supir truk, mas Danar juga memiliki ladang singkong. Di rumah mas Danar, saya dan Jericho baru mendapatkan sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan besok. Kami berempat pun menyetujui hal tersebut. Rangga dan Anthony pun pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 17.30.
Esok harinya sekitar jam 07.00, setelah mendapatkan izin dari ayah dan ibu asuhynya, Rangga dan Anthony sampai di rumah mas Danar. Usai mandi, saya, Jericho, Rangga, dan Anthony segera menyantap sarapan yang telah disediakan oleh Bu Yanti. Usai sarapan, kami berempat serta Mas Danar, istri serta anak segera pergi menuju ladangnya. Kami kesana dengan mengendarai sepeda motor karena letak ladang mas Danar yang cukup jauh yaitu sekitar 4-5 km. Sesampainya di sana kami langsung membantu mas Danar memanen singkong. Karena kami bisa dikatakan “sudah mendapatkan ilmu” cara memanen singkong dari mbah Cip, kami sudah tak perlu diajari lagi dan bekerja dengan cepat.
Usai panen, kami dihidangkan teh hangat dan air kelapa oleh mas Danar. Kami juga membantuk mengupasi kulit singkong di ladang. Sampai di rumah, saya dan Jericho berisitrahat siang di kamar, sementara itu Rangga dan Anthony kembali ke rumahnya. Sore Harinya ada perayaan ekaristi di kapel pok dadap. Dimulai pukul 16.00. Usai mandi, dan sarapan, saya, Jericho dan keluarga mas Danar bersiap-siap menuju kapel. Rangga dan Anthony pun datang ke rumah kami dan kami berempat serta keluarga mas Danar pergi ke kapel menaiki bus yang sering digunakan kakak mas Danar yang berprofesi sebagai supir bus.
Perayaan ekaristi di Kapel pun berlangsung. Misa dilaksanakan dengan menggunakan bahasa jawa kromo yang begitu sukar untuk kami mengerti, namun kami tetap bisa mengikuti sedikit demi sedikit karena tidak berbeda jauh dengan misa pada umumnya. Seusai misa, ada refleksi per kelompok yang dipimpin oleh guru pengawas. Kami semua menceritakan pengalaman sehari-hari yang kami lakukan di desa pok dadap. Saya dan Jericho mempersilahkan mas Danar pulang duluan karena takut merepotkan harus menunggu kami. Sehingga kami untuk pulang nanti harus berjalan kaki.
Seusai refleksi, kami semua pulang ke rumah masing-masing. Saya, Jericho, Evan, Kumara, dan Christo menempati rumah live in yang jaraknya cukup jauh dengan kapel sehingga kami berjalan kaki cukup jauh di malam hari yang sangat gelap itu. Penerangan kami hanya pada senter. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kami semua selamat sampai di rumah masing-masing. Hari esok saya dan Jericho pergi ke rumah Anthony dan Rangga untuk membantu panen singkong mbah Cip lagi dan mengupas kulit singkong. Setelah itu beristirahat siang dan malamnya Chrito, Evan, Anthony, dan Rangga mendatangi rumah saya untuk sekedar kumpul bareng, dan main kartu. Ngeteh serta menyantap snack-snack yang sudah disiapkan mas Danar. Pukul 20.00 mereka semua pulang dan saya dan Jericho pun beristirahat malam kembali.
Esoknya, Kamis, 5 September 2013. Itu adalah hari dimana kami harus meninggalkan desa dan orang tua asuh kami masing-masing. Hari itu adalah hari akhir dari live in kali ini. Usai mandi dan sarapan saya pun meminta izin kepada mas Danar untuk pergi ke rumah mbah Cip untuk berpamitan pada mereka untuk segera pulang ke BSD. Sampai di rumah mbah Cip kami berempat bersama Rangga dan Anthony yang sudah bersiap-saip juga segera pamit kepada mbah kakung dan mbah putri. Kami berempat mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada mereka karena sudah mau menerima kami berempat dan menganggap kami berempat seperti anaknya sendiri. Mbah putri pun menangisi kepergian kami. Setelah berpamitan kami berempat segera kembali lagi ke rumah mas Danar.
Di rumah mas Danar, saya dan Jericho dan juga Rangga serta Anthony berpamitan dengan mas Danar. Kami mengucapkan terimakasih juga kepada mereka atas perhatian yang diberikan mereka selama ini dan kami harus meninggalkan mereka. Usai berpamitan kami berempat diangkut dengan truk dengan mas Danar sebagai supirnya. Hal ini mengingatkan saya pada saat awal datang kesini saya tidak menyangka bahwa bapak asuh saya adalah mas Danar. Lalu mas Danar menjemput setiap siswa laki-laki tiap desa dan segera mengantar kami semua berkumpul kembali ke Paroki Wonosari untuk mendapatkan makan siang dan berdoa mohon keselamatan dalam perjalanan kembali ke BSD.
Setelah semua telah dilakukan, pada pukul 12.30. Kami semua segera memasuki bus masing-masing dan bus pun mulai berangkat menuju BSD. Sama seperti waktu berangkat, bus 4 masih ramai. Bernyanyi-nyanyi, bercanda ria, saling berbagi pengalaman dan lain-lain. Meski bus banyak melakukan pemberhentian, namun tak terasa esok paginya sekitar jam 06.00 kami sudah tiba di BSD. Puji Tuhan kami kembali dengan selamat di sekolah kami. Dari kegiatan live in kali ini, saya belajar tentang daya juang, penghargaan serta perlunya sebuah keluarga dalam setiap aktivitas yang kita lakukan.

                                                                                                            Yohanes Andy.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar