It's Not That Bad After All
Ancilla Dewi XII IPB - 1
Live in. Dua kata yang sebenarnya aku tidak ingin jalani dan
sangat ingin kuhindari. Tapi semua perasaan itu telah berubah.
* * * *
“Siapa namanya? Dilla?
Jilla? Mbak Jilla?”
“Cilla Bu Cilla, pake C” kataku sambil membentuk huruf C
dengan jari-jariku.
“Iya, Cilla… Cilla…”
Lagi-lagi aku harus mengulang
namaku. Itu Ibuku, Ibu Lestari namanya. Biasa kupanggil Bu Tari atau terkadang
Mbok Tari. Ia menjadi ibu angkatku selama aku live in di Dusun Jati ini. Ya, Ia
memang sering sekali lupa namaku dan juga teman serumahku, Jane.
“Ayo wedangnya diminum dulu, nanti dingin” mungkin ini
adalah kalimat yang sangat sering ku dengar selama live in.
“Iya bu, iya” dan selalu saja aku tidak bisa menolaknya.
Ini hari ke-4 aku tinggal di
rumah Bu Tari bersama anaknya Wahyu dan Mbah Painem. Saat ini aku, Jane, ibu,
dan mbah sedang ‘ngaso’ sambil ngwedang. Ini adalah kegiatan kami setiap kali
kami baru kembali dari ladang singkong. Untuk apa kami ke ladang? Kami ke
ladang untuk membantu ibu kami ini. Mulai dari mencabut singkong, mengupasnya,
mengumpulkan singkong dan kulitnya yang telah dijemur dan sudah kering, hingga
mengambil dedaunan untuk pakan sapi dan kambing. Jujur, aku sangat salut dengan
Ibuku ini. Kami disini berdua membantu yang tidak terlalu berat saja sudah
kelelahan, sedangkan biasanya ia mengerjakan ini semua sendirian.
Hari
ke-4 aku di sini. Aku tak akan berkata bahwa 4 hari ini terasa cepat, tidak
akan. 4 hari ini terasa lama bagiku, sangat. Tunggu, jam berapa ini? Jam 12
kira-kira. Sungguh aku bosan di rumah sehingga aku dan Jane sepakat untuk pergi
dengan alasan “aku mau pergi dulu, ada pertemuan bu.” Padahal kami ingin main
dan sebenarnya pertemuan ini dilaksanakan jam 1.
Di
pertemuan atau refleksi kelompok, kami disarankan untuk lebih terbuka dan
mendekatkan diri dengan keluarga kami di sini. Dan aku akui, aku merasa aku dan
keluargaku ini, belum dekat. Aku akui juga aku memang sulit untuk beradaptasi
dengan orang-orang baru. Dan aku putuskan, setelah pulang nanti aku akan lebih
membuka diri.
Kami
pulang dan mendapati Bu Tari sedang memasak sesuatu. Setelah kudekati ternyata Ia
sedang menggoreng kripik pisang yang memang ia janjikan akan ia buatkan untukku
dan Jane untuk dibawa pulang ke rumah besok. Dan sesuai dengan keputusanku untuk
lebih membuka diri dan menjadi diriku yang sebenarnya sekarang dan kumulailah
diriku yang ‘aktiv’ ini.
“Bu, aku mau coba goreng~” kataku.
“Bisa nggak?”
“Bisa, bisa” kataku yang sebenarnya juga tidak yakin.
Lalu aku mulai menggorengi kripik pisang itu. Beberapa
kemudian aku menangis. Bukan, bukan karena sedih atau terharu tapi karena asap
dari tungku yang menyerang mataku.
“aduh bu, mataku bu~ jadi nangis~” aku akui saat diriku yang
aktif ini ‘agak’ terlihat kesan manja. Dan akhirnya dengan keluhanku itu Jane
mengipasi aku/asap dengan kipas bambu yang besar. Sesekali kulihati kakiku di
sebelah api tungku. Ternyata bulu kakiku sudah mulai mengkeriting sehingga aku
berdiri dan Ibu menggantikanku menggoreng kripik itu.
Kesibukan
kami pun berganti, Jane memutuskan untuk mandi dan aku mulai bermain-main
dengan ayam-ayam beserta itik-itik yang bekeliaran di belakang rumah. Yang
kumaksud dengan bermain dengan ayam-ayam ini adalah aku mengejar-ngejar mereka.
Dan akhirnya aku berhenti karena ada ayam yang mungkin marah dan hampir mematok
kakiku.
Setelah beberapa lama Jane selesai mandi dan ikut denganku bermain di
halaman belakang. Tiba-tiba suatu hal melintas di benakku. “Bu! Sapinya kalo
dipeggang ngamuk ga?” kataku tiba-tiba yang mungkin membuat Jane juga heran
karena ia bertanya “lu mau megang sapinya?” dan setelah mendengar jawaban Ibu
yaitu “nggaaa…” aku berjalan dengan pasti menghampiri sapi ibu dan mengelus
kepalanya. Mengapa aku tiba-tiba mau pegang sapi? Karena aku teringat kata-kata
Ine, teman sekelasku yang berkata “pokoknya gue mau pegang sapi!” dan akhirnya
aku terkena kutu sapi. Waktu yang tadinya terasa begitu lama, hari ini aku
merasa semuanya berjalan dengan cepat.
* * * *
Dari
hanya satu hari itu saja aku sudah dapat mendapatkan banyak pelajaran. Mulai
dari hal-hal kecil seperti saat aku harus mengulang-ulang menyebutkan namaku
yang selalu tak teringat oleh Ibuku, aku harus belajar untuk sabar dan
pengertian. Aku belajar untuk terbuka terhadap orang-orang baru. Dan banyak lagi nilai-nilai yang kudapati pada satu minggu aku menjalani live in bersama
teman-temanku.
Memang,
pada awalnya aku segan dan dipenuhi kekhawatiran tapi semuanya telah berubah.
Banyak orang berkata, saat kita menjalani sesuatu ‘just let it flow’. Dulu aku
setuju dengan perkataan itu, namun sekarang aku berubah pikiran karena disini
aku belajar untuk tidak hanya membiarkan semuanya terjadi dan hanya
membiarkannya mengalir, tapi juga harus mendalami dan juga mengikuti arus itu
dengan sungguh-sungguh. Aku ingat menyebutkan bahwa aku ingin live in lagi.
Sesuatu yang aku tak suka dan akhirnya setelah kujalani dengan sungguh-sungguh aku bisa berkata, it’s
not that bad after all.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar