Click, to translate this blog!

Fellas, you're number

Senin, 16 September 2013

Tua Tapi Muda Menyerupai Tua - Christoforus Ristianto XIIB/2

Kehidupan sederhana adalah hal yang pertama Christo dan Evan dapatkan saat mereka datang ke desa Pokdadab dusun Ngenep. Kesederhanaan itu muncul begitu saja tanpa di rencanakan oleh keluarga Bapak Hartikun dan Ibu Sukitin. Kesederhanaan itu sangat di rasakan oleh Christo dan Evan karena di sinilah mereka baru mengenali kehidupan desa yang jauh dari kota.
Hari Minggu sekitar waktu menunjukan pukul 10.30 WIB, Evan dan Christo samapai di dusun Ngenep dan di sambut baik oleh Ibu asuh mereka. Saat itu mereka langsung menuju ke rumah baru mereka, dengan berjalan kaki menuju pasar Ngenep. Di saat perjalanan menuju ke rumah, Christo mengawali pembicaraan.
“ Ibu setiap hari bekerja sebagai apa ?” tanya Christo dengan polosnya. Lalu ibu itu menjawab “ Ya setiap harinya cuman menjadi petani gaplek aja”
. Tak terasa mereka sudah sampai di rumah baru. Rumah itu tidak terlalu buruk untuk ukuran desa, dengan lantai yang beralaskan aspal, batu bata sebagai dinding rumah mereka dan beberapa genting yang terlihat sudah tua sebagai pelindung rumah. Dengan senang hati mereka masuk dan melihat Bapak asuh mereka sedang menonton TV sambil menunggu kedatangan anak asuhnya. Saat itu juga mereka berkenalan dengan Bapak asuhnya nanti yang akan menjaga dan melindungi mereka selama 5 hari. Hari pertama mereka berbincang-bincang di ruang tamu sambil di temani teh hangat dan makanan ringan seperti peyek, kacang, dan lainya.
Evan bertanya “ Pak nanti mau ke ladang jam berapa ?”, dan Bapak menjawab “ Nanti sore”. Sahut Bapak yang menjawab dengan singkat. Lalu Ibu mereka bertanya “ Jam berapa tadi sampai di paroki ?” lalu Evan menjawabnya sekitar jam 08.30 Bu”.
 Sekitar satu jam mereka bertanya-tanya tentang kehidupan keluarga baru mereka, lalu mereka minta ijin untuk istirahat di kamar karena mereka merasa sangat letih akibat perjalanan dari BSD ke Wonosari.
Jam menunjukan pukul 13.30, mereka di bangunkan oleh Ibu.
“ Mas Iwan, mas Christo jadi mau ke ladang tidak ?” tanya Ibu dengan teriak dari luar rumah. Lalu mereka siap-siap dan mengambil topi untuk pergi ke ladang. Saat Ibu mereka memanggil untuk mengajak ke ladang, ada hal unik yang terjadi yaitu sang Ibu memanggil Iwan bukan Evan. Kemudian mereka dan Ibu jalan bersama menuju ladang.
Saat perjalanan mereka selalu bertanya “ Bu, masih jauh ladangnya ?”, lalu Ibu menjawab “ Tidak jauh lagi kok, sudah mau dekat”. Dalam pikiran mereka, makna dari ucapan “ dekat” masyarakat kota dan desa itu berbeda, jika orang kota dekat itu artinya memang sudah mendekati, sedangkan desa arti dari dekat itu masih jauh. Ternyata hal yang mereka pikirkan itu benar, ladang Ibu mereka itu masih jauh dan harus berjalan di lintasan yang cukup berbahaya. Belum sampai ladang, mereka sedikit merasa letih karena cuaca yang sangat panas.
Ibu berkata “ Ah, kalian ini payah, belum sampai ladang sudah capek”. Tak lama kemudian, sampailah mereka di ladang.
Evan pun Bertanya “ Bu, di ladang kita ada siapa ?”. Dalam hati Evan, orang itu sedang mengambil tanaman Ibunya, padahal orang yang di makasudkanya itu adalah Bapak mereka.
Lalu Ibu menjawabnya “ Itu kan Bapak, tadi dia naik motor jadi lebih cepat dari kita.” Jawab Ibu sambil tertawa. Kemudian mereka menghampiri Bapak yang sedang mencabut batang pohon ketela itu untuk mengambil gaplek yang ada di akarnya. Mereka bingung apa yang mau di kerjakan,
Christo bertanya “ Pak, apa yang bisa kami bantu ?”
 Lalu Bapak mempraktikan mencabut batang pohon, dan memotong gaplek dari akar batang pohon itu dengan celurit. Setelah mereka mengetahui cara untuk mendapatkan gaplek itu, mereka langsung mencoba beberapa pohon ketela itu secara individu. Ketika Christo berusaha mencabut salah satu pohon ketela, karena banyak sekali gaplek yang ada di akarnya ia tidak kuat mencabut pohon itu, akhirnya batang pohon itu patah dan susah untuk mengambil gaplek itu. Dengan rasa tanggung jawab yang ada di kepribadianya, ia menggali tanah dengan cangkul dan akhirnya ia berhasil mendapatkan ketela itu. Sekitar 15 samapi 30 pohon ketela berhasil mereka selesaikan, lalu mereka istirahat karena letih. Saat mereka istirahat, mereka lihat Bapak yang umurnya 65 tahun, masih bekerja mengambil gaplek dari awal mereka bekerja samapi sekarang. Sungguh luar biasa tenaga dari Bapak itu, dia sangat kuat tenaganya, sedangkan mereka berpikir seharusnya mereka yang umurnya muda masih bisa bertahan untuk bekerja. Dengan daya juang yang bangkit kembali, mereka melanjutkan pekerjaanya lagi. Sekitar jam 16.00, mereka sangat letih dan ingin minum air kelapa yang ada di samping ladang.
 Akhirnya mereka bertanya pada Ibu “ Bu, boleh tidak kami ambil kelapa itu untuk minum ?” lalu Ibu menjawabnya “ Oh, ambil saja tapi minta ijin dulu sama yang punya.”
 Karena sudah di berikan ijin, mereka cepat-cepat mengambil bambu dan celurit untuk mengambil kelapa itu. Akhirnya, mereka bisa mendapatkan 2 kelapa, lalu mereka meminta Bapak untuk di kupas kulit kelapanya. Setelah dikupas, mereka meminum kelapa itu, dan
Christo Berkata“ Pan, gila segar banget ini, setiap hari kerja ke ladang tapi minum air kelapa terus sih mau gua.”. Tiba-tiba Ibu berteriak “ Ayo pulang, sudah sore ini.”
 Lalu mereka bersama Ibu pulang melewati jalan saat berangkat dan Bapak pulang dengan naik motor.
Akhrinya sampai di rumah, mereka lalu mandi dan minum teh bersama keluarga di depan ruang televisi. Lalu Ibu hendak ke dapur dan memasak untuk makan malam, sedangkan Evan dan Christo dengan asyiknya menonton televisi. Saatnya makan malam, mereka dengan senangnya menyantap makanan sayur lombok, dan telur mata sapi. Setelah makan malam, mereka tidur untuk menyongsong hari esok. Hari esok telah tiba, mereka bangun jam 07.00, dan terlambat untuk membantu Bapak menjual gaplek hasil dari hari kemarin. Akhirnya mereka pergi ke pasar untuk membeli sayur dan mie instan. Habis dari pasar, mereka memasak bersama Ibu dengan pakai kayu yang di bakar.
“ Ah payah kamu, kok tidak bisa, apinya malah mati.” Kata Ibu.
 Mereka bukanya membantu Ibu, malah menyusahkanya dalam memasak. Sekitar setengah jam, api yang tadi tidak bisa hidup, akhirnya hidup juga. Sebuah kegembiraan karena ini baru pertama kali mereka memasak dengan cara yang berbeda. Siang harinya, mereka melakukan pekerjaan dan hal-hal lain yang hampir sama dengan apa yang mereka kerjakan kemarin. Pada hari Selasa sore, mereka dan keluarga pergi ke kapel, Bapak dan Ibu mereka naik motor, sedangkan Evan dan Christo jalan kaki. Setibanya di kapel mereka kumpul bersama teman-teman dari Pokdadab, dan mengadakan acara misa dengan Romo Anton, di lanjutkan dengan refleksi. Sekitar jam 18.30 mereka pulang bersama teman – teman dari Ngenep juga.
Keeseokan harinya, mereka juga melakukan pekerjaan yang tidak terlalu berbeda dengan hari sebelumnya. Namun pada malam terakhir mereka berbincang-bincang dengan orang tua mereka sampai jam 23.00 malam. Banyak hal yang mereka bicarakan, seperti ucapan terimakasih dan bercerita pengalaman hidup orang tua mereka.
Kamis pagi, mereka bangun sangat terlambat yaitu jam 08.00 pagi. Lalu mereka ke luar rumah untuk membersihkan daun-daun yang berserakan di jalan, lalu di bakar. Tiba-tiba Bapak datang
“ Mas Iwan dan Christo, Bapak mau mengucapkan terimakasih selama kalian tinggal di sini, Bapak minta maaf jika ada kesalahan dan semoga nanti tidak lupa sama Bapak dan Ibu kalau sudah jadi orang besar.” Kata Bapak
“ Iya pak, kami juga minta maaf karena kami sering membuat Bapak dan Ibu susah semenjak kami tinggal di sini. Iya pak, kami tidak akan melupakan Bapak dan Ibu.”
Lalu Bapak berkata “ Iya, sekarang saya mau ke ladang dulu, hati-hati di jalan.”
“ Iya pak, terimakasih.” Kata mereka. Setelah itu, Ibu datang dan memberikan kacang goreng dan peyek sebagai oleh-oleh dari kampung. “ Ini bawa untuk makan di bus kalau lapar saat perjalanan. Sekarang mandi dulu, kan jam 09.30 sudah harus ke rumah Pak guru.”
Saat menerima kacang itu, pada hari rabu siang mereka yang mengupas kulit kacang sekitar ratusan kacang yang harus di kupas kulitnya. Ternyata kacang itu untuk oleh-oleh buat mereka. Hal lebih yang medalam yaitu, Ibu mereka memisahkan kacang yang gosong dan yang tidak. Kacang yang gosong diambil oleh Ibu dan di masukan di dalam toples. Ibu itu sangat baik hati, dan mereka tidak akan pernah melupakan hal-hal dan pelajaran yang mereka dapat dari orang tua asuh mereka.

Tepat pukul 08.30, mereka berangkat ke rumah guru bersama Ibu, dan menemui teman-teman Ngenep lainya. kesedihan ada di persasaan mereka masing-masing, ada yang menangis, dan ada yang menahan tangis. Lalu setelah perpisahan di Ngenep, mereka berangkat menuju kapel dan ada acara perpisahan di sana. Setelah semua anak Pokdadab siap, mereka semua pulang ke paroki dan dari sana mereka melanjutkan perjalanan ke BSD dengan selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar