Kehidupan sederhana adalah hal yang
pertama Christo dan Evan dapatkan saat mereka datang ke desa Pokdadab dusun
Ngenep. Kesederhanaan itu muncul begitu saja tanpa di rencanakan oleh keluarga
Bapak Hartikun dan Ibu Sukitin. Kesederhanaan itu sangat di rasakan oleh
Christo dan Evan karena di sinilah mereka baru mengenali kehidupan desa yang
jauh dari kota.
Hari Minggu sekitar waktu menunjukan pukul 10.30
WIB, Evan dan Christo samapai di dusun Ngenep dan di sambut baik oleh Ibu asuh
mereka. Saat itu mereka langsung menuju ke rumah baru mereka, dengan berjalan
kaki menuju pasar Ngenep. Di saat perjalanan menuju ke rumah, Christo mengawali
pembicaraan.
“ Ibu setiap hari bekerja sebagai apa ?” tanya
Christo dengan polosnya. Lalu ibu itu menjawab “ Ya setiap harinya cuman
menjadi petani gaplek aja”
. Tak terasa mereka sudah sampai di rumah baru.
Rumah itu tidak terlalu buruk untuk ukuran desa, dengan lantai yang beralaskan
aspal, batu bata sebagai dinding rumah mereka dan beberapa genting yang
terlihat sudah tua sebagai pelindung rumah. Dengan senang hati mereka masuk dan
melihat Bapak asuh mereka sedang menonton TV sambil menunggu kedatangan anak
asuhnya. Saat itu juga mereka berkenalan dengan Bapak asuhnya nanti yang akan
menjaga dan melindungi mereka selama 5 hari. Hari pertama mereka
berbincang-bincang di ruang tamu sambil di temani teh hangat dan makanan ringan
seperti peyek, kacang, dan lainya.
Evan bertanya “ Pak nanti mau ke ladang jam berapa
?”, dan Bapak menjawab “ Nanti sore”. Sahut Bapak yang menjawab dengan singkat.
Lalu Ibu mereka bertanya “ Jam berapa tadi sampai di paroki ?” lalu Evan
menjawabnya sekitar jam 08.30 Bu”.
Sekitar satu
jam mereka bertanya-tanya tentang kehidupan keluarga baru mereka, lalu mereka
minta ijin untuk istirahat di kamar karena mereka merasa sangat letih akibat
perjalanan dari BSD ke Wonosari.
Jam menunjukan pukul 13.30, mereka di bangunkan oleh
Ibu.
“ Mas Iwan, mas Christo jadi mau ke ladang tidak ?”
tanya Ibu dengan teriak dari luar rumah. Lalu mereka siap-siap dan mengambil
topi untuk pergi ke ladang. Saat Ibu mereka memanggil untuk mengajak ke ladang,
ada hal unik yang terjadi yaitu sang Ibu memanggil Iwan bukan Evan. Kemudian
mereka dan Ibu jalan bersama menuju ladang.
Saat perjalanan mereka selalu bertanya “ Bu, masih
jauh ladangnya ?”, lalu Ibu menjawab “ Tidak jauh lagi kok, sudah mau dekat”.
Dalam pikiran mereka, makna dari ucapan “ dekat” masyarakat kota dan desa itu
berbeda, jika orang kota dekat itu artinya memang sudah mendekati, sedangkan
desa arti dari dekat itu masih jauh. Ternyata hal yang mereka pikirkan itu
benar, ladang Ibu mereka itu masih jauh dan harus berjalan di lintasan yang cukup
berbahaya. Belum sampai ladang, mereka sedikit merasa letih karena cuaca yang
sangat panas.
Ibu berkata “ Ah, kalian ini payah, belum sampai
ladang sudah capek”. Tak lama kemudian, sampailah mereka di ladang.
Evan pun Bertanya “ Bu, di ladang kita ada siapa ?”.
Dalam hati Evan, orang itu sedang mengambil tanaman Ibunya, padahal orang yang
di makasudkanya itu adalah Bapak mereka.
Lalu Ibu menjawabnya “ Itu kan Bapak, tadi dia naik
motor jadi lebih cepat dari kita.” Jawab Ibu sambil tertawa. Kemudian mereka
menghampiri Bapak yang sedang mencabut batang pohon ketela itu untuk mengambil
gaplek yang ada di akarnya. Mereka bingung apa yang mau di kerjakan,
Christo bertanya “ Pak, apa yang bisa kami bantu ?”
Lalu Bapak
mempraktikan mencabut batang pohon, dan memotong gaplek dari akar batang pohon
itu dengan celurit. Setelah mereka mengetahui cara untuk mendapatkan gaplek
itu, mereka langsung mencoba beberapa pohon ketela itu secara individu. Ketika
Christo berusaha mencabut salah satu pohon ketela, karena banyak sekali gaplek
yang ada di akarnya ia tidak kuat mencabut pohon itu, akhirnya batang pohon itu
patah dan susah untuk mengambil gaplek itu. Dengan rasa tanggung jawab yang ada
di kepribadianya, ia menggali tanah dengan cangkul dan akhirnya ia berhasil
mendapatkan ketela itu. Sekitar 15 samapi 30 pohon ketela berhasil mereka
selesaikan, lalu mereka istirahat karena letih. Saat mereka istirahat, mereka
lihat Bapak yang umurnya 65 tahun, masih bekerja mengambil gaplek dari awal mereka
bekerja samapi sekarang. Sungguh luar biasa tenaga dari Bapak itu, dia sangat
kuat tenaganya, sedangkan mereka berpikir seharusnya mereka yang umurnya muda
masih bisa bertahan untuk bekerja. Dengan daya juang yang bangkit kembali,
mereka melanjutkan pekerjaanya lagi. Sekitar jam 16.00, mereka sangat letih dan
ingin minum air kelapa yang ada di samping ladang.
Akhirnya
mereka bertanya pada Ibu “ Bu, boleh tidak kami ambil kelapa itu untuk minum ?”
lalu Ibu menjawabnya “ Oh, ambil saja tapi minta ijin dulu sama yang punya.”
Karena sudah
di berikan ijin, mereka cepat-cepat mengambil bambu dan celurit untuk mengambil
kelapa itu. Akhirnya, mereka bisa mendapatkan 2 kelapa, lalu mereka meminta
Bapak untuk di kupas kulit kelapanya. Setelah dikupas, mereka meminum kelapa
itu, dan
Christo Berkata“ Pan, gila segar banget ini, setiap
hari kerja ke ladang tapi minum air kelapa terus sih mau gua.”. Tiba-tiba Ibu
berteriak “ Ayo pulang, sudah sore ini.”
Lalu mereka
bersama Ibu pulang melewati jalan saat berangkat dan Bapak pulang dengan naik
motor.
Akhrinya sampai di rumah, mereka lalu mandi dan
minum teh bersama keluarga di depan ruang televisi. Lalu Ibu hendak ke dapur
dan memasak untuk makan malam, sedangkan Evan dan Christo dengan asyiknya
menonton televisi. Saatnya makan malam, mereka dengan senangnya menyantap
makanan sayur lombok, dan telur mata sapi. Setelah makan malam, mereka tidur
untuk menyongsong hari esok. Hari esok telah tiba, mereka bangun jam 07.00, dan
terlambat untuk membantu Bapak menjual gaplek hasil dari hari kemarin. Akhirnya
mereka pergi ke pasar untuk membeli sayur dan mie instan. Habis dari pasar,
mereka memasak bersama Ibu dengan pakai kayu yang di bakar.
“ Ah payah kamu, kok tidak bisa, apinya malah mati.”
Kata Ibu.
Mereka bukanya
membantu Ibu, malah menyusahkanya dalam memasak. Sekitar setengah jam, api yang
tadi tidak bisa hidup, akhirnya hidup juga. Sebuah kegembiraan karena ini baru
pertama kali mereka memasak dengan cara yang berbeda.
Siang harinya, mereka melakukan pekerjaan dan hal-hal lain yang hampir sama
dengan apa yang mereka kerjakan kemarin. Pada hari Selasa sore, mereka dan
keluarga pergi ke kapel, Bapak dan Ibu mereka naik motor, sedangkan Evan dan
Christo jalan kaki. Setibanya di kapel mereka kumpul bersama teman-teman dari
Pokdadab, dan mengadakan acara misa dengan Romo Anton, di lanjutkan dengan
refleksi. Sekitar jam 18.30 mereka pulang bersama teman – teman dari Ngenep
juga.
Keeseokan harinya, mereka juga melakukan pekerjaan
yang tidak terlalu berbeda dengan hari sebelumnya. Namun pada malam terakhir
mereka berbincang-bincang dengan orang tua mereka sampai jam 23.00 malam.
Banyak hal yang mereka bicarakan, seperti ucapan terimakasih dan bercerita
pengalaman hidup orang tua mereka.
Kamis pagi, mereka bangun sangat terlambat yaitu jam
08.00 pagi. Lalu mereka ke luar rumah untuk membersihkan daun-daun yang
berserakan di jalan, lalu di bakar. Tiba-tiba Bapak datang
“ Mas Iwan dan Christo, Bapak mau mengucapkan
terimakasih selama kalian tinggal di sini, Bapak minta maaf jika ada kesalahan
dan semoga nanti tidak lupa sama Bapak dan Ibu kalau sudah jadi orang besar.”
Kata Bapak
“ Iya pak, kami juga minta maaf karena kami sering
membuat Bapak dan Ibu susah semenjak kami tinggal di sini. Iya pak, kami tidak
akan melupakan Bapak dan Ibu.”
Lalu Bapak berkata “ Iya, sekarang saya mau ke
ladang dulu, hati-hati di jalan.”
“ Iya pak, terimakasih.” Kata mereka. Setelah itu,
Ibu datang dan memberikan kacang goreng dan peyek sebagai oleh-oleh dari
kampung. “ Ini bawa untuk makan di bus kalau lapar saat perjalanan. Sekarang
mandi dulu, kan jam 09.30 sudah harus ke rumah Pak guru.”
Saat menerima kacang itu, pada hari rabu siang
mereka yang mengupas kulit kacang sekitar ratusan kacang yang harus di kupas
kulitnya. Ternyata kacang itu untuk oleh-oleh buat mereka. Hal lebih yang
medalam yaitu, Ibu mereka memisahkan kacang yang gosong dan yang tidak. Kacang
yang gosong diambil oleh Ibu dan di masukan di dalam toples. Ibu itu sangat
baik hati, dan mereka tidak akan pernah melupakan hal-hal dan pelajaran yang
mereka dapat dari orang tua asuh mereka.
Tepat pukul 08.30, mereka berangkat ke rumah guru
bersama Ibu, dan menemui teman-teman Ngenep lainya. kesedihan ada di persasaan
mereka masing-masing, ada yang menangis, dan ada yang menahan tangis. Lalu
setelah perpisahan di Ngenep, mereka berangkat menuju kapel dan ada acara
perpisahan di sana. Setelah semua anak Pokdadab siap, mereka semua pulang ke
paroki dan dari sana mereka melanjutkan perjalanan ke BSD dengan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar