Click, to translate this blog!

Fellas, you're number

Senin, 16 September 2013

Desa Cuwelo, Cuwilan Hati - Sheliana S.P. XIIB/5

D-3 hari kepulangan. Saya menunggu dengan tidak sabar untuk pulang. Bukan berarti tidak betah, tapi saya kangen laptop dan internet. Saya betah, sangat betah untuk tinggal di rumah emak. Semua baik, semua enak, dan tidak usah susah-susah berpikir pekerjaan dan uang. Saat itu, saya sedang bekerja mengupas singkong di teras rumah emak Kardinem bersama dengan Sara dan keluarga emak.
            Pukul 13.30 saya dan Sara berjalan bersama Michelle dan Nadia menuju lokasi berkumpul. Seperti hari sebelumnya, kami berkumpul perkelompok desa untuk melakukan sharing. Menurut arahan Mak Ati, kami berjalan lurus dan cukup jauh. Sebelumnya, kami juga sempat menjemput Tiffany dan Lala di rumah Mbah Tuk. kami berjalan cukup lama dan jauh. Akhirnya kami sampai di tempat yang diarahkan Mak Ati. Dan ternyata JENG JENG kami salah tempat. Kami justru sampai di lokasi pertemuan Kelompok Cuwelo B, bukan Cuwelo A.
            Memang, ada 2 orang yang memiliki nama sama. Sehingga, Mak Ati salah memberikan instruksi. Akhirnya kami kembali berjalan ke tempat yang seharusnya. Di tengah jalan kami bertemu dengan Whitney dan Sasa yang hampir salah jalan juga. Tak seberapa jauh, ada gang kecil yang dapat mempersingkat jalan kami menuju tempat pertemuan. Tapi ketika kami mau melewati gang tersebut, di kejauhan terlihat orang yang berjalan dengan aneh. Ke kiri, ke kanan tidak jelas. Ingatlah kami akan cerita tentang ‘orang idiot’ di gang tersebut. LARI! Kami berlari menuju gang satu lagi, dan segera berjalan cepat ke rumah  yang menjadi tempat pertemuan.
            Pertemuan di mulai, dan cerita demi cerita mengalir. Tetesan demi tetesan air mata berjatuhan. Kami mengingat perbuatan kami kepada orang tua mereka di rumah. Betapa kami telah menjadi anak yang egois, dan merindukan kehangatan dalam keluarga kami. Walau tidak semua anak menangis, tapi pikiran dan perasaan kamii menggali lagi kenangan kenangan kami bersama keluarga mereka.
            Kami memang rindu rumah mereka, tapi di satu sisi kami tidak ingin meninggalkan rumah baru kami di Cuwelo dan ibu angkat kami. Orang-orang di Cuwelo terlalu baik bagi kami. Biarpun tidak kenal, kami selalu di sapa, di bantu ini dan itu, diberikan ini dan itu.
“Gue rasa, kita butuh ember dah,” kata saya.
“Hah? Untuk?” tanya Fanny.
“Ini nangis semua sayang tissuenya,” jawab saya.
Ya, begitulah, hampir semua menangis di pertemuan kali itu. Termasuk saya.
            Esok harinya, setelah bulan menunjukkan bintangnya, ada latihan koor di Kapel. Awalnya saya dan Sara tidak ikut pergi karena Michelle dan Nadia juga tidak pergi. Tiba-tiba... TOK TOK
“Mbak Saraaa” panggil seseorang di depan pintu.
“Eh, Sar ada orang di depan,” kata saya kaget.
Saya pun berjalan membuka pintu. Ternyata ada Mbak Tanjung dan Mas Andri di depan pintu.
“Eh mbak, disuruh dateng latihan koor. Semuanya udah pada dateng,” kata Mbak tanjung.
“Oh. Sar kita disuruh latihan koor,” kata saya sambil berjalan ke arah Sara.
“Oh? Michelle sama Nadia juga dateng?” tanya Sara.
“Iya mereka udah nyampe tadi naik motor,” jawab Mbak Tanjung.
Sara dan saya pun segera memakai jaket dan mengambil senter, lalu jalan bersama Mbak Tanjung ke Kapel. Sedangkan Mas Andri naik motor dan pergi duluan.
            Di kapel, ternyata orang-orang Cuwelo yang hadir telah menyiapkan acara perpisahan untuk kami. Mereka menyebutnya acara yang tidak disiapkan, tapi berhasil membuat para peserta live in menangis terharu. Kenangan demi kenangan selama 4 hari berada di desa Cuwelo kembali teringat. Kebersamaan yang terjalin, kasih sayang yang diberikan, membuat mereka merasa tidak ingin pulang. Walau susah hidup di desa, tapi kami tetap merasakan kebahagiaan.
            Pelukan dan ucapan terima kasih kami berikan untuk warga yang hadir saat itu. Hanya hal kecil yang saat itu dapat kami berikan. Hal yang tidak sebanding dengan pengalaman yang telah kami dapatkan di desa. Cuwelo, yang berarti Cuwilane Solo tidak berarti sama untuk kami. Bagi kami Cuwelo merupakan cuwilan hati kami, yang telah memberikan kami pelajaran berharga juga kebahagiaan.
            Malam terakhir kami yang penuh tangis kebahagiaan dan perasaan tak ingin meninggalkan desa, di taburi bintang indah di langit malam.





Bagi saya sendiri, live in selama seminggu awalnya merupakan hal yang sulit, namun setelah di jalani ternyata bukan hal yang sulit. Saya tidak membayangkan bahwa saya akan merasakan hal yang justru saya tidak dapat di keluarga saya saat ini. Orang yang baru bertemu selama 5 hari bisa begitu sayang kepada saya, begitu peduli kepada saya, bahkan khawatir jika saya pulang telat. Sedangkan saya di rumah tidak seperti itu. Saya merasa live in sangat berguna bagi saya. Selain saya merasakan hal yang tadi saya sebutkan, saya juga dapat melihat kembali bagaimana saya harus berbuat. Emak Kardinem, yang menjadi ibu angkat saya, memang bukan orang kaya. Dia harus bekerja di ladang dan memelihara sapi. Saya merasakan sendiri bagaimana susahnya kerja di ladang, dan hidup dengan air yang terbatas. Tetapi emak sama sekali tidak pernah mengeluh, walaupun dia pernah bilang bahwa hidup di kota tidak usah bekerja karena ada anaknya jadi bisa lebih enak, tapi sama sekali tidak pernah menyatakan ketidaksukaannya bekerja di ladang. Dari situ saya belajar untuk menyukai setiap hal yang saya kerjakan, tidak hanya mengerjakan hal yang saya suka. Karena selama ini saya lebih sering mengerjakan hal yang saya suka. Tapi jika saya belajar untuk menyukai setiap hal yang saya kerjakan tanpa mengeluh, saya rasa saya akan lebih mudah dalam mengerjakan setiap hal. Jika saya terus mengeluh saya rasa hal yang saya kerjakan akan berasa lebih sulit. Maka dari itu saya akan belajar menyukai setiap hal yang saya kerjakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar