D-3 hari
kepulangan. Saya menunggu dengan tidak sabar untuk pulang. Bukan berarti tidak
betah, tapi saya kangen laptop dan internet. Saya betah, sangat betah untuk
tinggal di rumah emak. Semua baik, semua enak, dan tidak usah susah-susah
berpikir pekerjaan dan uang. Saat itu, saya sedang bekerja mengupas singkong di
teras rumah emak Kardinem bersama dengan Sara dan keluarga emak.
Pukul 13.30 saya dan Sara berjalan bersama Michelle dan
Nadia menuju lokasi berkumpul. Seperti hari sebelumnya, kami berkumpul
perkelompok desa untuk melakukan sharing. Menurut arahan Mak Ati, kami berjalan
lurus dan cukup jauh. Sebelumnya, kami juga sempat menjemput Tiffany dan Lala
di rumah Mbah Tuk. kami berjalan cukup lama dan jauh. Akhirnya kami sampai di
tempat yang diarahkan Mak Ati. Dan ternyata JENG JENG kami salah tempat. Kami
justru sampai di lokasi pertemuan Kelompok Cuwelo B, bukan Cuwelo A.
Memang, ada 2 orang yang memiliki nama sama. Sehingga,
Mak Ati salah memberikan instruksi. Akhirnya kami kembali berjalan ke tempat
yang seharusnya. Di tengah jalan kami bertemu dengan Whitney dan Sasa yang
hampir salah jalan juga. Tak seberapa jauh, ada gang kecil yang dapat
mempersingkat jalan kami menuju tempat pertemuan. Tapi ketika kami mau melewati
gang tersebut, di kejauhan terlihat orang yang berjalan dengan aneh. Ke kiri,
ke kanan tidak jelas. Ingatlah kami akan cerita tentang ‘orang idiot’ di gang
tersebut. LARI! Kami berlari menuju gang satu lagi, dan segera berjalan cepat
ke rumah yang menjadi tempat pertemuan.
Pertemuan di mulai, dan cerita demi cerita mengalir.
Tetesan demi tetesan air mata berjatuhan. Kami mengingat perbuatan kami kepada
orang tua mereka di rumah. Betapa kami telah menjadi anak yang egois, dan
merindukan kehangatan dalam keluarga kami. Walau tidak semua anak menangis, tapi
pikiran dan perasaan kamii menggali lagi kenangan kenangan kami bersama
keluarga mereka.
Kami memang rindu rumah mereka, tapi di satu sisi kami
tidak ingin meninggalkan rumah baru kami di Cuwelo dan ibu angkat kami.
Orang-orang di Cuwelo terlalu baik bagi kami. Biarpun tidak kenal, kami selalu
di sapa, di bantu ini dan itu, diberikan ini dan itu.
“Gue rasa, kita butuh
ember dah,” kata saya.
“Hah? Untuk?” tanya
Fanny.
“Ini nangis semua
sayang tissuenya,” jawab saya.
Ya, begitulah, hampir
semua menangis di pertemuan kali itu. Termasuk saya.
Esok harinya, setelah bulan menunjukkan bintangnya, ada
latihan koor di Kapel. Awalnya saya dan Sara tidak ikut pergi karena Michelle
dan Nadia juga tidak pergi. Tiba-tiba... TOK TOK
“Mbak Saraaa” panggil
seseorang di depan pintu.
“Eh, Sar ada orang di
depan,” kata saya kaget.
Saya pun berjalan
membuka pintu. Ternyata ada Mbak Tanjung dan Mas Andri di depan pintu.
“Eh mbak, disuruh
dateng latihan koor. Semuanya udah pada dateng,” kata Mbak tanjung.
“Oh. Sar kita disuruh
latihan koor,” kata saya sambil berjalan ke arah Sara.
“Oh? Michelle sama
Nadia juga dateng?” tanya Sara.
“Iya mereka udah nyampe
tadi naik motor,” jawab Mbak Tanjung.
Sara dan saya pun
segera memakai jaket dan mengambil senter, lalu jalan bersama Mbak Tanjung ke
Kapel. Sedangkan Mas Andri naik motor dan pergi duluan.
Di kapel, ternyata orang-orang Cuwelo yang hadir telah
menyiapkan acara perpisahan untuk kami. Mereka menyebutnya acara yang tidak
disiapkan, tapi berhasil membuat para peserta live in menangis terharu.
Kenangan demi kenangan selama 4 hari berada di desa Cuwelo kembali teringat.
Kebersamaan yang terjalin, kasih sayang yang diberikan, membuat mereka merasa
tidak ingin pulang. Walau susah hidup di desa, tapi kami tetap merasakan
kebahagiaan.
Pelukan dan ucapan terima kasih kami berikan untuk warga
yang hadir saat itu. Hanya hal kecil yang saat itu dapat kami berikan. Hal yang
tidak sebanding dengan pengalaman yang telah kami dapatkan di desa. Cuwelo,
yang berarti Cuwilane Solo tidak berarti sama untuk kami. Bagi kami Cuwelo merupakan
cuwilan hati kami, yang telah memberikan kami pelajaran berharga juga
kebahagiaan.
Malam terakhir kami yang penuh tangis kebahagiaan dan
perasaan tak ingin meninggalkan desa, di taburi bintang indah di langit malam.
Bagi saya sendiri, live
in selama seminggu awalnya merupakan hal yang sulit, namun setelah di jalani
ternyata bukan hal yang sulit. Saya tidak membayangkan bahwa saya akan
merasakan hal yang justru saya tidak dapat di keluarga saya saat ini. Orang
yang baru bertemu selama 5 hari bisa begitu sayang kepada saya, begitu peduli
kepada saya, bahkan khawatir jika saya pulang telat. Sedangkan saya di rumah
tidak seperti itu. Saya merasa live in sangat berguna bagi saya. Selain saya
merasakan hal yang tadi saya sebutkan, saya juga dapat melihat kembali
bagaimana saya harus berbuat. Emak Kardinem, yang menjadi ibu angkat saya,
memang bukan orang kaya. Dia harus bekerja di ladang dan memelihara sapi. Saya
merasakan sendiri bagaimana susahnya kerja di ladang, dan hidup dengan air yang
terbatas. Tetapi emak sama sekali tidak pernah mengeluh, walaupun dia pernah
bilang bahwa hidup di kota tidak usah bekerja karena ada anaknya jadi bisa
lebih enak, tapi sama sekali tidak pernah menyatakan ketidaksukaannya bekerja
di ladang. Dari situ saya belajar untuk menyukai setiap hal yang saya kerjakan,
tidak hanya mengerjakan hal yang saya suka. Karena selama ini saya lebih sering
mengerjakan hal yang saya suka. Tapi jika saya belajar untuk menyukai setiap
hal yang saya kerjakan tanpa mengeluh, saya rasa saya akan lebih mudah dalam
mengerjakan setiap hal. Jika saya terus mengeluh saya rasa hal yang saya
kerjakan akan berasa lebih sulit. Maka dari itu saya akan belajar menyukai
setiap hal yang saya kerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar