Click, to translate this blog!

Fellas, you're number

Senin, 16 September 2013

Kahyangan Tempat Bernaung - Trianake XIIB/7

“Duh, batunya tajem-tajem banget sih!” Keluhan lagi. Kenapa mulutku ini tidak bisa menahan segala-galanya. Kulihat teman-temanku berhenti sejenak melihatku dan mengiyakan perkataanku. Namun, aku menyesalinya.
“Sebentar lagi, Mbak…” kata Mamak. Mamak Rubiem adalah Ibu angkatku di desa ini. Desa Wonosari ini. Dusun Jati Candiredjo. Ia terlihat rapih. Dengan bandana birunya yang menutupi rambut tipisnya. Ia berjalan lebih cepat daripada kakiku yang lebih panjang dari dirinya. Badannya  yang kurus itu dilapisi celana panjang dan baju ungu yang serasi. Tak kumuh juga tak berlebihan. Sederhana dan tetap ayu.
Kemudian aku menengok ke arah Bapak yang berjalan di belakangku. Seperti biasa ia tersenyum semenjak aku bertemu dengannya. Mungkin sekitar 25 jam yang lalu saat sampai ke rumahnya. Senyumannya itu entah mengapa membuatku tambah menyesali perkataanku. Bapak Budi Prasetyo, suami dari Mamak Rubi, ayah angkatku di desa ini. Dan aku membalas senyumannya, dan sepertinya senyumanku terlihat getir karena kepanasan.
Aku kemudian melanjutkan langkahku yang sempat terantuk sebuah batu tajam tadi saat kami mulai membelok ke arah kiri dan menemui batu-batu tajam pengganti aspal. Panas terik dan sudut yang kulalui semakin miring ke belakang membuat napasku sedikit tersengal. Pikirku, tak terasa sudah hari kedua aku berada di tempat ini. Bersama dengan Bapak dan Mamak pergi untuk meladang di Alas Kahyangan.
Sebelumnya tak kuketahui nama itu, sampai Mamak mengatakan ingin pergi ke Kahyangan. Ya, nama yang begitu mistis bagiku. Memang aku tidak bergidik, tapi membayangkannya saja sudah membuat aku merasa itu adalah nama sastra yang berarti besar dan hikmat. Kulanjutkan perjalananku itu memasuki sebuah jalan yang empat kali lebih sempit dari jalan bebatuan tajam tadi. Astaga.
“Jalannya tambah kecil lagi!” Begini memang jika tidak berpikir sebelum berkata-kata. Lidah tak bertulang, bodoh! Begitu aku mengutuk diriku sendiri lagi yang mengatakannya. Mengeluarkannya dengan sembrono. Tak tahu aturan dan perasaan orang-orang di sekitar. Aku berharap tak lagi keluar kata-kata itu. Aku mau menutup mulutku benar-benar.
Kulihat Bapak tetap tersenyum teduh di belakangku. Melihatnya membuatku semakin menyesali diri sendiri. Namun, aku kembali menyusuri jalan  itu. Begitu sempit, kedua kakiku merasakan tusukan-tusukan rerumputan dan semak-semak yang ramai-ramai menghalangi jalan. Ketika sampai di tempat tujuan matahari telah naik, ia menembus dan menyinari wajahku, tepat di bawah kedua mataku yang teduh karena perlindungan dari topi yang kupakai.
Kuhirup udara dalam-dalam. Masih terasa jantungku berpacu mengalirkan oksigen ke seluruh tubuhku lebih cepat. Topi yang menempel di atas kepalaku terasa basah karena keringat yang cukup banyak. Sedangkan Mamak dan Bapak. Tak nampak di kulit mereka yang terbilang cokelat caramel itu bulir-bulir keringat. Ya, mereka terbiasa. Aku tak terbiasa. Sepintas  hanya hal itu yang kupikirkan. Mereka telah biasa berjalan sejauh itu. Mereka telah biasa menempuh jalan itu. Aku tidak. Diantar dengan mobil, yang didalamnya tersembur udara dingin ketika panas meradang di luar. Hanya duduk. Duduk dan memainkan ponsel “pintar” yang sekarang kusadari membuatku “bodoh”.
Kuhirup lagi udara Alas Kahyangan itu. Tanahnya yang cokelat kemerahan itu seakan begitu kaya menumbuhkan batang-batang singkong yang sudah masak. Sama. Udaranya tak berbeda dengan halaman rumahku. Sama-sama sedikit lembab dan berbau khas tanaman. Tugasku di sana adalah untuk memanen singkong. Memisahkannya dari batangnya dan mengupasnya menjadi gaplek.
Ora isa, to?” Mamak sedikit tertawa melihatku menghabiskan waktu mengupas satu singkong. Dalam hati aku bersikeras. Belajar. Belajar. Tapi kemudian aku baru menyadarinya dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang ingin dipelajari? Sebatas bisa mengupasnya? Atau hal lain?
’Kan baru belajar, Mak…” Kataku menyahut memberikan senyuman. Entahlah apakah Mamak ingin menyindir aku karena memang aku tidak bisa atau aku anak kota. Sempat ada pikiran yang demikian. Namun, aku lega dengan kata-kataku barusan. Sikapku tadi sekiranya berkenan di hati Mamak. Dan kurasa itu jawaban terbaik guna melepaskan rasa pesimis.
Kulihat lagi Bapak melangkah ke sana kemari membawa batang yang masih ditempeli singkong-singkong besar montok. Dan tak lama setelah itu aku menyelesaikan singkong pertamaku, yang pertama kukupas sejak tiba di Kahyangan – kami lebih enak menyebutnya tanpa “Alas”. Kemudian kuambil lagi sebuah singkong, kali ini ukurannya lebih kecil dari yang tadi. Kira-kira panjangnya sekitar setengah lenganku.
Kemudian kulihat cara Mamak mengupasnya. Aku seperti melihat seorang Chef di salah satu saluran TV kabel yang mengupas bahan makanannya dengan kecepatan tinggi, kemahiran dan kerapihan yang sama. Cepat dan rapih. Aku kagum dan mencoba mengikuti caranya dengan memperhatikannya lekat-lekat. Tak ada barang 30 detik Mamak menyelesaikan satu singkong. Malah kurasa kurang dari 15 detik ia mengerat kulit cokelat singkong itu menjadi singkong putih bergetah itu.
Lama kelamaan aku terduduk begitu saja di depan tumpukan singkong-singkong yang baru dipanen itu. Sembari masih mengupas singkong dengan kekuatan yang agak ekstra aku terdiam tak berbicara. Aku dan tiga rekanku sama sekali tidak berbincang, mengenai apa pun kecuali ketika ada sesuatu hal mengenai pekerjaan yang sedang kami jalani saat itu. Aku terduduk sendirian di atas tanah tanpa menghiraukan celana pendekku yang kuyakin akan kotor nantinya. Topi berwarna pastel itu masih menempel di kepalaku. Setidaknya topi itulah yang melindungi aku dari sinar matahari yang makin lama makin menyengat.

Aku lempar singkong yang sudah kukupas itu. Kemudian dengan agak malas, aku mencondongkan badanku mencoba mengambil singkong lain yang belum dikupas. Kupandang lagi singkong itu, Mamak, Bapak yang ada sedikit jauh dari tempat kami bernaung dan ketiga rekanku. Mamak dan ketiga rekanku duduk di bawah pohon kecil, entah itu pohon apa yang kelihatannya sangat sejuk jika bisa bernaung di bawahnya. Aku yang duduk di atas tanah ini merasa agak menyesal mengapa tidak mengambil posisi itu. Namun, aku bernaung di dalam Alas Kahyangan. Ladang tempat aku disadarkan oleh beberapa hal kecil, sederhana tetapi penting. Ya, kurasa ini cukup karena mungkin aku mengenal lebih dekat dengan Alas Kahyangan dan orang-orang yang telah memupuk tanahnya itu dibanding rekanku yang lain. Namun, aku hanyalah aku. Bukan orang lain sehingga cukup sajalah jika aku melihatku diriku yang mulai terpantul ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar