“Duh, batunya tajem-tajem banget sih!” Keluhan
lagi. Kenapa mulutku ini tidak bisa menahan segala-galanya. Kulihat
teman-temanku berhenti sejenak melihatku dan mengiyakan perkataanku. Namun, aku
menyesalinya.
“Sebentar lagi, Mbak…” kata Mamak. Mamak Rubiem adalah Ibu
angkatku di desa ini. Desa Wonosari ini. Dusun Jati Candiredjo. Ia terlihat
rapih. Dengan bandana birunya yang menutupi rambut tipisnya. Ia berjalan lebih
cepat daripada kakiku yang lebih panjang dari dirinya. Badannya yang kurus itu dilapisi celana panjang dan
baju ungu yang serasi. Tak kumuh juga tak berlebihan. Sederhana dan tetap ayu.
Kemudian aku
menengok ke arah Bapak yang berjalan di belakangku. Seperti biasa ia tersenyum
semenjak aku bertemu dengannya. Mungkin sekitar 25 jam yang lalu saat sampai ke
rumahnya. Senyumannya itu entah mengapa membuatku tambah menyesali perkataanku.
Bapak Budi Prasetyo, suami dari Mamak Rubi, ayah angkatku di desa ini. Dan aku
membalas senyumannya, dan sepertinya senyumanku terlihat getir karena
kepanasan.
Aku kemudian
melanjutkan langkahku yang sempat terantuk sebuah batu tajam tadi saat kami
mulai membelok ke arah kiri dan menemui batu-batu tajam pengganti aspal. Panas
terik dan sudut yang kulalui semakin miring ke belakang membuat napasku sedikit
tersengal. Pikirku, tak terasa sudah hari kedua aku berada di tempat ini.
Bersama dengan Bapak dan Mamak pergi untuk meladang di Alas Kahyangan.
Sebelumnya tak
kuketahui nama itu, sampai Mamak mengatakan ingin pergi ke Kahyangan. Ya, nama yang
begitu mistis bagiku. Memang aku tidak bergidik, tapi membayangkannya saja
sudah membuat aku merasa itu adalah nama sastra yang berarti besar dan hikmat.
Kulanjutkan perjalananku itu memasuki sebuah jalan yang empat kali lebih sempit
dari jalan bebatuan tajam tadi. Astaga.
“Jalannya tambah
kecil lagi!” Begini memang jika tidak berpikir sebelum berkata-kata. Lidah tak bertulang, bodoh! Begitu aku
mengutuk diriku sendiri lagi yang mengatakannya. Mengeluarkannya dengan
sembrono. Tak tahu aturan dan perasaan orang-orang di sekitar. Aku berharap tak
lagi keluar kata-kata itu. Aku mau menutup mulutku benar-benar.
Kulihat Bapak
tetap tersenyum teduh di belakangku. Melihatnya membuatku semakin menyesali
diri sendiri. Namun, aku kembali menyusuri jalan itu. Begitu sempit, kedua kakiku merasakan
tusukan-tusukan rerumputan dan semak-semak yang ramai-ramai menghalangi jalan.
Ketika sampai di tempat tujuan matahari telah naik, ia menembus dan menyinari
wajahku, tepat di bawah kedua mataku yang teduh karena perlindungan dari topi
yang kupakai.
Kuhirup udara
dalam-dalam. Masih terasa jantungku berpacu mengalirkan oksigen ke seluruh
tubuhku lebih cepat. Topi yang menempel di atas kepalaku terasa basah karena
keringat yang cukup banyak. Sedangkan Mamak dan Bapak. Tak nampak di kulit
mereka yang terbilang cokelat caramel itu bulir-bulir keringat. Ya, mereka
terbiasa. Aku tak terbiasa. Sepintas
hanya hal itu yang kupikirkan. Mereka telah biasa berjalan sejauh itu.
Mereka telah biasa menempuh jalan itu. Aku tidak. Diantar dengan mobil, yang
didalamnya tersembur udara dingin ketika panas meradang di luar. Hanya duduk.
Duduk dan memainkan ponsel “pintar” yang sekarang kusadari membuatku “bodoh”.
Kuhirup lagi
udara Alas Kahyangan itu. Tanahnya yang cokelat kemerahan itu seakan begitu
kaya menumbuhkan batang-batang singkong yang sudah masak. Sama. Udaranya tak
berbeda dengan halaman rumahku. Sama-sama sedikit lembab dan berbau khas
tanaman. Tugasku di sana adalah untuk memanen singkong. Memisahkannya dari
batangnya dan mengupasnya menjadi gaplek.
“Ora isa, to?” Mamak sedikit tertawa melihatku menghabiskan waktu mengupas
satu singkong. Dalam hati aku bersikeras. Belajar. Belajar. Tapi kemudian aku
baru menyadarinya dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang ingin dipelajari?
Sebatas bisa mengupasnya? Atau hal lain?
“’Kan baru belajar, Mak…” Kataku menyahut memberikan senyuman. Entahlah apakah Mamak
ingin menyindir aku karena memang aku tidak bisa atau aku anak kota. Sempat ada
pikiran yang demikian. Namun, aku lega dengan kata-kataku barusan. Sikapku tadi
sekiranya berkenan di hati Mamak. Dan kurasa itu jawaban terbaik guna
melepaskan rasa pesimis.
Kulihat lagi
Bapak melangkah ke sana kemari membawa batang yang masih ditempeli
singkong-singkong besar montok. Dan
tak lama setelah itu aku menyelesaikan singkong pertamaku, yang pertama kukupas
sejak tiba di Kahyangan – kami lebih enak menyebutnya tanpa “Alas”. Kemudian
kuambil lagi sebuah singkong, kali ini ukurannya lebih kecil dari yang tadi.
Kira-kira panjangnya sekitar setengah lenganku.
Kemudian kulihat
cara Mamak mengupasnya. Aku seperti melihat seorang Chef di salah satu saluran TV
kabel yang mengupas bahan makanannya dengan kecepatan tinggi, kemahiran dan
kerapihan yang sama. Cepat dan rapih. Aku kagum dan mencoba mengikuti caranya
dengan memperhatikannya lekat-lekat. Tak ada barang 30 detik Mamak
menyelesaikan satu singkong. Malah kurasa kurang dari 15 detik ia mengerat
kulit cokelat singkong itu menjadi singkong putih bergetah itu.
Lama kelamaan
aku terduduk begitu saja di depan tumpukan singkong-singkong yang baru dipanen
itu. Sembari masih mengupas singkong dengan kekuatan yang agak ekstra aku
terdiam tak berbicara. Aku dan tiga rekanku sama sekali tidak berbincang,
mengenai apa pun kecuali ketika ada sesuatu hal mengenai pekerjaan yang sedang
kami jalani saat itu. Aku terduduk sendirian di atas tanah tanpa menghiraukan
celana pendekku yang kuyakin akan kotor nantinya. Topi berwarna pastel itu
masih menempel di kepalaku. Setidaknya topi itulah yang melindungi aku dari
sinar matahari yang makin lama makin menyengat.
Aku lempar
singkong yang sudah kukupas itu. Kemudian dengan agak malas, aku mencondongkan
badanku mencoba mengambil singkong lain yang belum dikupas. Kupandang lagi
singkong itu, Mamak, Bapak yang ada sedikit jauh dari tempat kami bernaung dan
ketiga rekanku. Mamak dan ketiga rekanku duduk di bawah pohon kecil, entah itu
pohon apa yang kelihatannya sangat sejuk jika bisa bernaung di bawahnya. Aku
yang duduk di atas tanah ini merasa agak menyesal mengapa tidak mengambil posisi
itu. Namun, aku bernaung di dalam Alas Kahyangan. Ladang tempat aku disadarkan
oleh beberapa hal kecil, sederhana tetapi penting. Ya, kurasa ini cukup karena
mungkin aku mengenal lebih dekat dengan Alas Kahyangan dan orang-orang yang
telah memupuk tanahnya itu dibanding rekanku yang lain. Namun, aku hanyalah
aku. Bukan orang lain sehingga cukup sajalah jika aku melihatku diriku yang
mulai terpantul ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar