Detik
terakhir aku menatap wajahnya, air mataku mengalir deras tanpa henti. Ia
memelukku dengan erat, seperti memeluk anaknya sendiri, seperti sedang melepas
kepergian anaknya. Teringat kembali dalam pikiranku, hari-hari sebelum kami berpisah.
Hari-hari yang kami habiskan sebagai sebuah keluarga.
***
“Ayo pulang! Sudah panas, nanti itu kulitnya
hitam seperti bajumu itu!” teriak bapak. Padahal tempatku duduk sudah cukup
teduh berkat susunan kayu dan daun yang dirakit oleh bapak untuk menghalangi
panas matahari. Matahari juga belum panas betul, tapi bapak tetap bersikeras
agar kami segera pulang. Kuturuti kata bapak. Kuletakkan pisauku, lalu aku
bangkit berdiri dan membersihkan celanaku yang kotor akan tanah dan kulit
singkong. Lalu kami berjalan pulang.
Jarak
antara rumah dengan ladang sekitar tiga kilometer. Jarak itu kami tempuh dengan
berjalan kaki, menyusuri jalanan yang hanya dua sisi saja yang mulus, yaitu dua
sisi untuk tempat berjalannya roda mobil. Sisanya adalah bebatuan keras dan
tajam, yang bahkan tak mampu ditahan oleh sandal jepitku. Ladang bapak letaknya
di bagian bawah di sisi jalan, sehingga kami harus naik ke atas untuk mencapai
jalan. Naik turun itu tidak mudah, karena batu pijakannya kecil dan agak tajam.
Sepertinya bebatuan di sini tajam semua.
Di
rumah mamak sedang memomong cucunya yang baru berusia beberapa bulan, sementara
menantu perempuannya memasak untuk seluruh anggota keluarga. Dan ketika kami
pulang masakannya sudah menunggu di atas meja. Ada ayam goreng, tempe bacem,
sayur kangkung, tahu goreng, dan sambel ulek. Sambel itu sempat membuatku minum
delapan gelas air, dan membuatku merasa agak sungkan dengan keluarga angkatku
itu karena krisis air yang mereka hadapi. Kali ini aku bertekad tidak makan
banyak sambel!
Selain
ikut bapak ke ladang, kegiatanku yang lain di rumah biasanya tergantung dari
apa yang sedang dikerjakan keluargaku. Pernah aku ikut membuat getuk bersama
istri Pak Sumar, menantu perempuan bapak dan mamak. Aku pun mencoba memarut
kelapa. “Hati-hati itu kalau kena tangan sakit, bisa berdarah,” kata ibu, istri
pak Sumar. Belum ada lima menit setelah peringatan diberikan, aku sudah melukai
tanganku lebih dari tiga kali. Tidak begitu sakit, tapi berdarah. “Mbak, itu
tangannya berdarah tuh,” kata ibu dengan nada agak cemas. “Nggak apa-apa bu,
nggak sakit kok,” jawabku berusaha membuat suasana kembali normal. “Ada yang
punya obat ndak? Biar dikasih obat itu lukanya.” “Nggak usah bu,” aku mulai
sungkan. Sampai akhirnya teman serumahku bilang dia punya plester, dan si ibu
kembali tenang.
Suatu
ketika aku dan teman serumahku disuguhi kacang dan singkong rebus, dan teh,
minuman yang tidak pernah kusukai sepanjang hidupku. Tapi entah sudah berapa
gelas teh yang kuhabiskan selama aku tinggal di desa ini. “Ini singkong ya bu?”
tanya temanku. “Iya itu singkong rebus, dimakannya sama kacang.” “Hmm… Ini
digoreng juga enak lho bu. Kalau di Jakarta biasanya saya goreng,” kata temanku
lagi, ia hanya berniat untuk berbagi cerita. Tapi ternyata cerita itu sangat
menginspirasi si ibu, sehingga keesokan harinya kami disugihi singkong goreng
dan tak lupa dengan teh.
Hari
Rabu merupakan kesempatan terakhirku ikut bapak ke ladang. Aku tidak lagi
mengupas kulit singkong seperti biasanya, karena semua singkong sudah selesai dikupas
kemarin. Jadi hari itu bapak memintaku untuk mengangkat karung berisi kulit
singkong kering seberat lima kilogram dan dibawa ke rumah. Kulit singkong ini
nanti akan jadi makanan sapi dan kambing. Tidak mudah untuk membawa karung itu,
apa lagi ketika aku harus naik dari ladang ke jalan sambil membawa karung itu.
Aku menyunggi karung itu dan membawanya berjalan sejauh tiga kilometer. Berat
dan melelahkan. Beberapa kali aku menjatuhkan karung itu, dan bapak
mengangkatnya kembali ke atas kepalaku. “Sini kalau gak kuat taruh di atas
sini,” kata bapak sambil menunduk. Di atas kepala bapak sudah ada satu karung,
dan ia menyuruhku menaruh karungku di atas karungnya. “Gak pak, saya masih kuat
kok,” kataku mengangkat sendiri karungku ke atas kepala. Dua kilometer lagi,
dan kali ini aku tidak menjatuhkan karungku.
***
Kuusap
air mataku. Kugigit bibir bawahku, berusaha membendung air mata yang terus
mengalir. Masih terasa di lidahku teh manis yang tadi pagi kuminum bersama
seluruh anggota keluargaku, minuman kesukaanku sejak aku tinggal bersama
mereka. Live in sebentar lagi selesai. Aku akan kembali ke BSD, kembali ke
rutinitas awalku. Aku pergi meniggalkan keluarga angkatku. Dengan kenangan
manis yang masih terbayang di kepalaku. Kenangan semanis teh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar