Click, to translate this blog!

Fellas, you're number

Selasa, 17 September 2013

Kenangan Manis - Nia XIIB/11

Detik terakhir aku menatap wajahnya, air mataku mengalir deras tanpa henti. Ia memelukku dengan erat, seperti memeluk anaknya sendiri, seperti sedang melepas kepergian anaknya. Teringat kembali dalam pikiranku, hari-hari sebelum kami berpisah. Hari-hari yang kami habiskan sebagai sebuah keluarga.
***
 “Ayo pulang! Sudah panas, nanti itu kulitnya hitam seperti bajumu itu!” teriak bapak. Padahal tempatku duduk sudah cukup teduh berkat susunan kayu dan daun yang dirakit oleh bapak untuk menghalangi panas matahari. Matahari juga belum panas betul, tapi bapak tetap bersikeras agar kami segera pulang. Kuturuti kata bapak. Kuletakkan pisauku, lalu aku bangkit berdiri dan membersihkan celanaku yang kotor akan tanah dan kulit singkong. Lalu kami berjalan pulang.
Jarak antara rumah dengan ladang sekitar tiga kilometer. Jarak itu kami tempuh dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan yang hanya dua sisi saja yang mulus, yaitu dua sisi untuk tempat berjalannya roda mobil. Sisanya adalah bebatuan keras dan tajam, yang bahkan tak mampu ditahan oleh sandal jepitku. Ladang bapak letaknya di bagian bawah di sisi jalan, sehingga kami harus naik ke atas untuk mencapai jalan. Naik turun itu tidak mudah, karena batu pijakannya kecil dan agak tajam. Sepertinya bebatuan di sini tajam semua.
Di rumah mamak sedang memomong cucunya yang baru berusia beberapa bulan, sementara menantu perempuannya memasak untuk seluruh anggota keluarga. Dan ketika kami pulang masakannya sudah menunggu di atas meja. Ada ayam goreng, tempe bacem, sayur kangkung, tahu goreng, dan sambel ulek. Sambel itu sempat membuatku minum delapan gelas air, dan membuatku merasa agak sungkan dengan keluarga angkatku itu karena krisis air yang mereka hadapi. Kali ini aku bertekad tidak makan banyak sambel!
Selain ikut bapak ke ladang, kegiatanku yang lain di rumah biasanya tergantung dari apa yang sedang dikerjakan keluargaku. Pernah aku ikut membuat getuk bersama istri Pak Sumar, menantu perempuan bapak dan mamak. Aku pun mencoba memarut kelapa. “Hati-hati itu kalau kena tangan sakit, bisa berdarah,” kata ibu, istri pak Sumar. Belum ada lima menit setelah peringatan diberikan, aku sudah melukai tanganku lebih dari tiga kali. Tidak begitu sakit, tapi berdarah. “Mbak, itu tangannya berdarah tuh,” kata ibu dengan nada agak cemas. “Nggak apa-apa bu, nggak sakit kok,” jawabku berusaha membuat suasana kembali normal. “Ada yang punya obat ndak? Biar dikasih obat itu lukanya.” “Nggak usah bu,” aku mulai sungkan. Sampai akhirnya teman serumahku bilang dia punya plester, dan si ibu kembali tenang.
Suatu ketika aku dan teman serumahku disuguhi kacang dan singkong rebus, dan teh, minuman yang tidak pernah kusukai sepanjang hidupku. Tapi entah sudah berapa gelas teh yang kuhabiskan selama aku tinggal di desa ini. “Ini singkong ya bu?” tanya temanku. “Iya itu singkong rebus, dimakannya sama kacang.” “Hmm… Ini digoreng juga enak lho bu. Kalau di Jakarta biasanya saya goreng,” kata temanku lagi, ia hanya berniat untuk berbagi cerita. Tapi ternyata cerita itu sangat menginspirasi si ibu, sehingga keesokan harinya kami disugihi singkong goreng dan tak lupa dengan teh.
Hari Rabu merupakan kesempatan terakhirku ikut bapak ke ladang. Aku tidak lagi mengupas kulit singkong seperti biasanya, karena semua singkong sudah selesai dikupas kemarin. Jadi hari itu bapak memintaku untuk mengangkat karung berisi kulit singkong kering seberat lima kilogram dan dibawa ke rumah. Kulit singkong ini nanti akan jadi makanan sapi dan kambing. Tidak mudah untuk membawa karung itu, apa lagi ketika aku harus naik dari ladang ke jalan sambil membawa karung itu. Aku menyunggi karung itu dan membawanya berjalan sejauh tiga kilometer. Berat dan melelahkan. Beberapa kali aku menjatuhkan karung itu, dan bapak mengangkatnya kembali ke atas kepalaku. “Sini kalau gak kuat taruh di atas sini,” kata bapak sambil menunduk. Di atas kepala bapak sudah ada satu karung, dan ia menyuruhku menaruh karungku di atas karungnya. “Gak pak, saya masih kuat kok,” kataku mengangkat sendiri karungku ke atas kepala. Dua kilometer lagi, dan kali ini aku tidak menjatuhkan karungku.
***

Kuusap air mataku. Kugigit bibir bawahku, berusaha membendung air mata yang terus mengalir. Masih terasa di lidahku teh manis yang tadi pagi kuminum bersama seluruh anggota keluargaku, minuman kesukaanku sejak aku tinggal bersama mereka. Live in sebentar lagi selesai. Aku akan kembali ke BSD, kembali ke rutinitas awalku. Aku pergi meniggalkan keluarga angkatku. Dengan kenangan manis yang masih terbayang di kepalaku. Kenangan semanis teh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar